
GURU Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) membuka intervensi pihak asing di Indonesia melalui mekanisme hukum internasional yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Di era sekarang, intervensi sudah tidak bisa menggunakan alat kolonialisme. Saat ini, intervensi dilakukan melalui perjanjian internasional," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (3/3).
FCTC sendiri merupakan perjanjian internasional yang dirancang di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengatur tembakau secara ketat melalui berbagai aturan. FCTC diadopsi oleh World Health Assembly pada 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005. Meski beberapa negara telah meratifikasi FCTC, Indonesia tidak melakukannya.
FCTC pada dasarnya adalah upaya negara-negara non-produsen tembakau untuk mengendalikan industri tembakau di negara produsen. Kepentingan tersebut difasilitasi oleh WHO yang merasa menjadi otoritas tertinggi bagi negara-negara dalam menjalankan kebijakannya. Sikap itu pula yang menyebabkan Amerika Serikat akhirnya memutuskan keluar dari WHO.
Prof. Hikmahanto memperingatkan agar Indonesia berhati-hati dalam menerapkan aturan FCTC seperti plain packaging, terutama karena industri tembakau memiliki ekosistem yang kompleks dan melibatkan jutaan tenaga kerja.
"Pemerintah harus memiliki kebebasan dan kedaulatan harus ditegakkan," ujarnya.
Di lain pihak, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta setuju bahwa industri tembakau di Indonesia memiliki ekosistem yang kompleks, melibatkan petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang eceran.
Menurutnya, kebijakan yang mengadopsi FCTC tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor lain adalah bentuk ketidakpedulian pemerintah. “Kemenkes tidak boleh menang sendiri. Mereka harus duduk bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Keuangan. Ini masalah kompleks yang melibatkan banyak sektor," ujarnya.
Widyanta juga melihat FCTC sebagai bagian dari pertarungan geopolitik dan ekonomi global. Menurutnya, FCTC merupakan rezim internasional yang bertujuan membatasi industri tembakau di banyak negara, dan menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mendominasi pasar global.
Hal ini menjadi salah satu alasan donor bagi Amerika Serikat, sebagai donor terbesar, memilih keluar dari keanggotaan WHO, diikuti oleh negara lain seperti Argentina. Komoditas tembakau kini dikendalikan oleh kelompok kepentingan global tertentu untuk menstigmatisasi industri ini melalui berbagai cara, termasuk perubahan institusi, konstitusi, dan peraturan perundangan di berbagai negara agar sesuai dengan kepentingan mereka.
Kemenkes dinilai terlalu gegabah dalam membuat aturan yang merujuk pada FCTC. Widyanta melihat Pemerintah Indonesia tidak membaca ini sebagai sebuah pertarungan geopolitik-ekonomi dan hanya menelan mentah-mentah yang dikatakan oleh pihak berkepentingan tersebut. "Kemenkes terlalu kemancun (overacting). Mereka sudah mengatur bahkan sampai penghilangan merek rokok, padahal belum ada basis perundangan yang jelas," tegasnya.
Ia memperingatkan penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek atau plain packaging justru akan memicu masalah lain, seperti maraknya rokok ilegal yang angkanya tiap tahun terus bertambah. Merujuk pada data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak sebesar 253,7 juta batang pada 2023. Sementara pada 2024 jumlahnya meningkat menjadi 10 juta batang. Dampak inilah yang semestinya diperhatikan sebagai masalah serius imbas FCTC bagi keberlangsungan industri tembakau yang perlu kehati-hatian dalam menanganinya.
“Sehingga perlu berhati-hati karena ini mencakup penghidupan bagi banyak warga negara kita. Negara itu harus memikirkan kompleksitas industri tembakau, antar Kementerian harus duduk bersama agar ini jangan menjadi invasi tersendiri. Ada sektor lain yang harus dipikirkan, bukan hanya satu sektor saja,” pungkas Widyanta. (H-2)