
KETUA Majelis Masyayikh, Abdul Ghaffar Rozin mengatakan bahwa tantangan besar pendidikan nonformal pesantren adalah keragaman antar pesantren. Mulai variasi, standar masing-masing pesantren yang berbeda-beda, hingga jenjang yang berbeda pula. Karena itu, penyusunan sistem penjaminan mutu internal dan eksternal ini menjadi langkah penting untuk menjawab tantangan tersebut.
“Tantangan terbesar kita adalah adanya disparitas, variasi, dan standar masing-masing pesantren yang sangat berbeda-beda dengan dua kategori yang juga berbeda; pesantren berjenjang dan tidak berjenjang,” ujar Rozin, melalui keterangannya, Sabtu (17/5).
Rozin mengatakan, pihaknya melaksanakan amanat UU No.18 Tahun 2019 tentang Pesantren dengan menyusun dokumen sistem penjaminan mutu internal dan eksternal (SPMI-SPME) untuk pendidikan nonformal pesantren. Dokumen ini dirancang sebagai kerangka sistematis untuk peningkatan mutu pendidikan nonformal pesantren dengan tetap menjaga kekhasan dan kemandirian pesantren di Indonesia.
Penyusunan dokumen ini diawali dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Desain Penulisan SPMI-SPME yang digelar pada 15–17 Mei 2025 di Tangerang Selatan. FGD ini melibatkan para praktisi pendidikan pesantren, akademisi, pengamat, serta perwakilan pemerintah yakni Kementerian Agama RI.
Rozin menegaskan sistem penjaminan mutu ini harus berpijak pada nilai-nilai dasar pesantren. Terutama akhlak dan akidah untuk didorong sebagai salah satu prioritas sistem penjaminan mutu yang diusung, baik secara eksplisit maupun implisit hingga mendapat pengakuan negara.
“Selain keilmuan, kita secara serius mendudukkan bahwa cita-cita akhlak dan akidah--cita-cita karakter—menjadi prioritas pertama kita dalam menyusun sistem penjaminan mutu ini. Bagaimana kemudian nanti sistem penjaminan mutu ini dilaksanakan, asesmen, hingga level akhir administrasi yakni ijazah/syahadah,” tegas Rozin.
Peningkatan Kapasitas Guru Pesantren
Selain itu, Rozin juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas guru dalam memahami kitab kuning secara metodologis, agar santri dapat berkembang secara kritis.
“Kitab kuning merupakan teks yang hidup, perlu dikembangkan dan dikaji secara metodologis, agar penjaminan mutu ini membuka kesadaran dan pola pikir tidak hanya kepada para santri lebih-lebih kepada para gurunya,” ungkap Rozin.
Anggota Majelis Masyayikh Divisi Pendidikan Dasar dan Menengah Badriyah Fayumi menambahkan pendidikan nonformal adalah bentuk pendidikan pesantren paling otentik secara historis dan populasi terbanyak dari pesantren. Keberadaannya harus diakui oleh negara, karena ini perintah Undang-Undang.
“Majelis Masyayikh berkomitmen rekognisi dan afirmasi yang dilakukan akan menjangkau semua tipologi, kategori, dan semua santri. Sehingga tidak ada satupun santri di Indonesia yang belajar secara serius tetapi tidak mendapatkan pengakuan negara,” jelas Nyai Badriyah.
Ia juga menyoroti tantangan data sebagai dasar penyusunan kebijakan ke depan. “Saat ini terdapat sekitar 42.000 pesantren, namun data pendidikan nonformal pesantren yang saat ini ada belum sepenuhnya lengkap,” terang Nyai Badriyah.
Direktur Pesantren yang juga Kepala Sekretariat Majelis Masyayikh Basnang Said, mengatakan Kementerian Agama akan terus mendukung kebijakan pesantren. Ia juga menambahkan, santri pondok pesantren berhak mendapatkan ijazah sebagai pengakuan negara atas pembelajaran yang sudah ditempuh berjam-jam, bertahun tahun di pesantren.
“Santri yang mengikuti pendidikan formal dengan belajar mulai pagi sampai siang lulus mendapatkan ijazah, artinya diakui negara. Namun, ketika santri kembali ke asrama pesantren untuk belajar dari sore sampai malam dengan metode yang berbeda, kitab yang berbeda, guru yang berbeda, lulus dari pesantren tidak mendapat ijazah,” tutupnya. (H-3)