
DALAM fikih mazhab Syafii, ada pembahasan tentang orang meninggal dunia yang meninggalkan utang puasa. Bagaimana para ahli waris menyikapi hal itu? Apakah perlu mengganti puasa almarhum, membayar fidyah, atau yang lain?
Berikut penjelasan tentang orang mati yang punya utang puasa. Ini dikutip dari buku Fiqh Puasa dan Zakat Fitrah yang diterbitkan LBM-NU Kota Kediri, Jawa Timur.
Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa dibagi menjadi dua keadaan:
1. Orang yang tidak wajib difidyahi.
Mereka ialah orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan tidak memiliki kesempatan untuk mengqada, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apapun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.
2. Orang yang wajib difidyahi.
Mereka ialah orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur tetapi ia menemukan Waktu yang memungkinkan untuk mengqada puasa. Menurut qaul jadid, wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit.
Sedangkan menurut qaul qadim, wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, yaitu membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.
Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul dari pada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih. Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit.
Bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, tidak ada kewajiban apapun bagi wali/ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah. Namun, hukum pelaksanaannya yaitu sunah.
Terlambat mengqada puasa Ramadan
Orang yang mengakhirkan qada puasa Ramadan, sementara ia memungkinkan untuk mengqada, sampai datang Ramadan berikutnya, termasuk berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatannya mengqada puasa Ramadan.
Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqada, semisal uzur sakit atau safarnya berlanjut hingga memasuki Ramadan berikutnya. Orang tersebut tidak punya kewajiban fidyah. Ia hanya diwajibkan mengqada puasa.
Menurut pendapat al-ashah (yang kuat), fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Misalnya ada orang punya tanggungan qada puasa sehari pada 2018, tetapi ia tidak kunjung mengqada sampai masuk Ramadan 2020. Dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.
Demikianlah pembahasan fikih puasa terkait orang mati yang punya utang puasa dan terlambat mengqada puasa Ramadan. Semoga bermanfaat. (I-2)