
TANTANGAN puasa Ramadan di berbagai negara berbeda-beda salah satunya di Skotlandia yang memiliki tantangan durasi jam puasa yang terus memanjang hingga melawan cuaca dingin yang terkadang sampai menusuk tulang.
Mahasiswa University of Edinburg, Yusuf Yanuari menceritakan puasa di Ibu Kota Skotlandia itu pada hari-hari pertama mirip seperti di Indonesia yakni pukul 3.50 sahur, kemudian subuhnya pukul 4.50, dan berbuka pada pukul 17.50 waktu setempat.
"Tapi di sini bedanya adalah setiap hari jadwal sholat itu bergeser sedikit lebih panjang, jadi bergeser 2-3 menit setiap hari. Jadi subuhnya semakin cepat dan maghribnya pn semakin lama. Jadi nanti di akhir-akhir bulan Ramadan, kita subuh bisa sampai jam 3.00 dan maghrib pukul 20.00, jadi lama sekali," kata Yusuf dalam konten YouTube Media Indonesia bertajuk Kurma.
"Awal-awal masih enak, tapi lama-lama makin susah, makin panjang," sambungnya.
Penduduk Skotlandia sekitar berjumlah 5 juta, sedangkan masyarakat beragama Islam sekitar 15 ribu saja atau sekitar 3% dari warga lokal asli namun mayoritas pendatang dari Asia Selatan, Indonesia, Malaysia, Negara Arab, dan negara-negara lain. Sehingga di Skotlandia tidak ada suasana Ramadan karena muslim sebagai minoritas.
"Jadi kalau Ramadan suasannya biasa saja, seperti hari-hari biasa, enggak ada. Enggak kayak di Indonesia, kan Ramadan itu masih-masih dihias, apalagi pada saat lebaran di sini tidak ada perayaan," ujarnya.
Selain durasi puasa yang terus memanjang. Tantangan lainnya yakni cuaca Skotlandia yang sangat dingin. Cuaca di Edinburgh bisa sekitar 5, 0, -1, hingga -2 derajat celcius. Bahkan musim panasnya pun masih di sekitar 17, 16, hingga 16 derajat celcius.
"Jadi orang-orang di sini (Edinburg) kalau keluar selalu pakai jaket, kita tidak pernah merasakan hangat, kecuali kalau di dalam ruangan, karena ada penghangat di semua ruangan," ucapnya.
Di balik tantangan puasa tersebut suasana Edinburg sangat indah yang memanjakan mata dan kenyamanan setiap orang yang tinggal di sana. Hal itu terlihat dari bangunan yang rata-rata memiliki arsitektur zaman dulu untuk menjaga autentisitas bangunan sehingga tetap terlihat menjadi kota yang cantik dan kuno begitu.
Mulai dari bangunan gereja, kampus, gedung, perkantoran, dan lain-lain memiliki gaya bangunannya lama. Kalau pun ada renovasi, maka yang direnovasi bagian dalam.
Sementara itu, masjid di Edinburg atau Masjid Central Edinburg juga berada di pusat kota, dan presis di samping University of Edinburgh, yang jumlah mahasiswanya sekitar 40 ribu mahasiswa. Sehingga menjadi nilai tambah ketika para mahasiswa muslim bisa melaksanakan solat dan berisitirahat di masjid dekat kampus.
Masjid tersebut berdiri tahun 1998 pembangunannya disumbang oleh beberapa tokoh dari Arab Saudi. Kegiatan di masjid pun cukup aktif seperti pengajian rutin yang dilakukan. Jemaah solat 5 waktu pun selalu ada sekitar 20-40 orang atau sekitar 2 shaf. Tapi kalau jumatan semua sisi di msajid penuh mulai dari ruang utama, luar, hingga aula masjid.
Di samping Masjid Central Edinburg juga ada beberapa restoran dengan gaya Timur Tengah. Salah satunya adalah Saj Shawarma yang menyajikan makanan khas Timur Tengah tepatnya dari Lebanon.
"Kentang goreng, chicken sawarma box hanya sekitar 6 pounds atau sekitar Rp120 ribu, di mana sebenarnya, kalau di restoran-restoran biasanya dengan porsi sebanyak ini biasanya 12 sampai 15 poundsterling, atau sekitar Rp300 ribu. Saking banyak bisa dua sampai tiga kali makan," ungkapnya.
Kemudian ada juga Mosque Kitchen, salah satu restoran di halaman masjid, yang menjual makanan-makanan Asia, seperti ayam, daging kambing, dan sebagainya.
"Restoran ini juga murah, satu porsi makanannya, sekitar 8-9 poundsterling, jadi masih murah, karena ini juga porsinya besar, dan bisa dipakai makan dua sampai tiga kali," pungkasnya. (H-2)