ilustrasi.(MI)
PENOLAKAN terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, juga datang dari dua ormas Islam besar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Dari Muhammadiyah, Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Usman Hamid, menilai bahwa seorang pahlawan nasional harus memegang nilai-nilai kebenaran dan keberanian moral hingga akhir hayatnya.
“Jadi kalau dia meninggal dunia dalam keadaan melakukan kejahatan atau dengan status tersangka atau terdakwa, entah itu kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan lingkungan, atau korupsi, sulit diletakkan sebagai pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/11).
Usman menyoroti status hukum Soeharto yang tidak pernah tuntas hingga akhir kekuasaannya.
“Soeharto meninggal dunia ketika ia setengah diadili oleh pengadilan karena kasus korupsi bahkan di Asia Tenggara, dia dianggap sebagai pemimpin paling buruk di dunia,” jelasnya.
Menurut Usman, pahlawan sejati adalah mereka yang memiliki keberanian moral dan berani berkorban demi kepentingan orang lain.
“Bagaimana bisa Soeharto disandingkan dengan Gus Dur, Soeharto disandingkan dengan Marsinah,” pungkas Usman.
Sementara itu, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus juga menyatakan keberatannya terhadap rencana pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus, Rabu (5/11).
Gus Mus mengenang, banyak ulama dan kiai pesantren diperlakukan tidak adil selama masa kekuasaan Soeharto.
“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ceritanya.
Ia juga menuturkan pengalaman Kiai Sahal Mahfudh yang pernah diminta menjadi penasehat Golkar Jawa Tengah.
“Kiai Sahal Mahfudh itu didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah diminta jadi penasehat Golkar Jawa Tengah. Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” tambahnya.
Gus Mus menilai, banyak ulama dan pejuang bangsa yang berjasa besar tetapi keluarganya tidak pernah mengajukan gelar pahlawan untuk menjaga keikhlasan amal kebaikan almarhum.
“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU periode 2014–2015 itu.
Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah tersebut juga mengingatkan bahwa warga NU yang mendukung gelar pahlawan untuk Soeharto menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” kata Gus Mus. (Cah/P-3)


















































