
PERCEPATAN penandatanganan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) disambut positif berbagai kalangan. Namun demikian, keberhasilan tersebut tidak bisa hanya bergantung pada penghapusan tarif, melainkan juga pada bagaimana Indonesia mengantisipasi hambatan non-tarif yang kompleks dan ketat di pasar Eropa.
"Saya melihat kondisi ini sebagai sinyal positif, namun tetap perlu dibaca secara hati-hati dan strategis," ujar peneliti dari Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, Minggu (13/7).
Menurutnya, Uni Eropa adalah mitra dagang yang sangat potensial, tidak hanya karena daya beli konsumennya yang tinggi, tetapi juga karena orientasi industrinya yang sangat kuat terhadap produk-produk berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi.
Namun demikian, pasar Uni Eropa juga dikenal sangat regulatif. Meskipun IEU-CEPA akan memungkinkan banyak produk Indonesia masuk bebas tarif, hambatan non-tarif seperti standar lingkungan, keamanan pangan, dan keberlanjutan rantai pasok tetap menjadi tantangan besar. Produk unggulan seperti kelapa sawit, karet, perikanan, furnitur, kakao, dan kopi masih menghadapi TBT, SPS, serta regulasi RED II dan EUDR dari UE.
"Banyak produk ekspor Indonesia, meskipun dari sisi tarif nantinya bisa bebas masuk, masih akan berhadapan dengan tantangan besar dalam bentuk Non-Tariff Measures (NTM)," kata Yusuf.
Untuk itu, ia mendorong agar dalam implementasi IEU-CEPA ke depan, pemerintah Indonesia memperjuangkan terbentuknya forum penyelesaian sengketa teknis atau mekanisme harmonisasi regulasi. Menurutnya, tanpa langkah tersebut, pembebasan tarif hanya akan menjadi simbolis, dan hambatan struktural tetap menyulitkan eksportir nasional.
"Harapannya, dengan disepakatinya IEU-CEPA, kita bisa mendorong terciptanya mekanisme harmonisasi regulasi atau minimal pembentukan forum penyelesaian sengketa teknis yang bisa menekan efek pembatasan non-tarif ini," tambahnya.
Persepsi geopolitik
Di sisi lain, Yusuf juga menyoroti langkah strategis Indonesia dalam menjalin kedekatan dengan BRICS. Ia menilai bahwa keikutsertaan Indonesia dalam forum BRICS memiliki potensi sebagai jalur diversifikasi mitra ekonomi, terutama di tengah ketidakpastian global.
"Masuknya Indonesia dalam orbit kerja sama BRICS, terutama dengan Tiongkok dan Rusia sebagai anggotanya, bisa dimaknai sebagai upaya diversifikasi mitra ekonomi dan mencari alternatif pembiayaan serta pasar baru," ujar dia.
Namun, ia mengingatkan pendekatan tersebut tidak tanpa risiko. Kedekatan simbolik Indonesia terhadap BRICS dapat terbaca sebagai sinyal geopolitik yang dapat mempengaruhi hubungan dagang dengan mitra Barat seperti Amerika Serikat atau Uni Eropa.
"Dalam konteks negosiasi dengan Amerika Serikat, atau bahkan mitra Barat lainnya, kedekatan simbolik terhadap BRICS dapat dilihat sebagai sinyal geopolitik," ungkap Yusuf.
Menurutnya, pemerintah harus secara aktif menegaskan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam BRICS bersifat pragmatis dan ekonomi, bukan ideologis. Ini penting agar Indonesia tidak kehilangan akses ke sumber daya penting dari negara Barat, seperti pendanaan hijau dan teknologi bersih.
Indonesia, kata Yusuf, harus terus menegaskan partisipasi di BRICS bersifat ekonomi dan pragmatis, bukan ideologis. Jangan sampai langkah ini justru menghambat akses terhadap sumber daya Barat seperti pendanaan hijau, teknologi bersih, atau pengakuan terhadap standar produk di pasar premium.
Lebih lanjut, ia menilai keanggotaan Indonesia di BRICS bisa saja diperhitungkan oleh Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan tarif terhadap Indonesia. Karena itu, kehati-hatian dalam mengelola persepsi geopolitik sangat penting agar tidak disalahartikan sebagai keberpihakan pada satu blok tertentu.
"Memang ada peluang kemudian keanggotaan Indonesia dalam organisasi tersebut akan masuk ke faktor konsiderasi pemerintahan Amerika Serikat, apakah akan tetap mengenakan tarif tinggi ke Indonesia atau tidak," ujarnya.
Indonesia, menurut Yusuf, masih memiliki daya tawar terhadap AS, antara lain dari sisi akses pasar domestik yang besar dan posisi surplus AS dalam neraca perdagangan jasa dengan Indonesia. Karenanya, ia berharap pemerintah bisa memainkan strategi dagang dan diplomasi ekonomi secara cermat demi menjaga kepentingan nasional jangka panjang. (Mir/E-1)