Atasi Karhutla, Gubernur Riau Dinilai Kurang Berani Audit Kepatuhan Korporasi

2 hours ago 2
Atasi Karhutla, Gubernur Riau Dinilai Kurang Berani Audit Kepatuhan Korporasi Ilustrasi(MI/RUDI KURNIAWANSYAH)

JARINGAN Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menilai Strategi Gubernur Riau Abdul Wahid dalam pengendalian karhutla belum sungguh-sungguh dan kurang berani. 

“Gubernur Abdul Wahid harus berani menyelesaikan persoalan hulu dari terjadinya karhutla, yaitu mengevaluasi izin korporasi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit khususnya audit kepatuhan sarana dan prasarana penanggulangan,” kata Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo, Senin (5/5).

Catatan Jikalahari, Riwayat kebakaran dominan terjadi di konsesi korporasi, baik HTI maupun perkebunan sawit. Sejak 2015, terdapat 14 korporasi yang telah divonis bersalah oleh pengadilan karena karhutla. Dari 14 putusan pengadilan tersebut, dominan karhutla terjadi karena ketidaksiapan dan tidak memadainya sarana dan prasaranan pengendalian karhutla.

Contohnya pada kasus PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS). PT SSS dinyatakan tidak memiliki sarana dan prasarana dalam pengendalian karhutla yang sesuai dengan perizinannya. Majelis Hakim menyebutkan, jumlah sarana prasarana PT SSS tidak sesuai dengan luas Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) yang dimilikinya yakni 5.604 hektar. PT SSS Hanya ada 2 regu pemadam kebakaran yang seharusnya 3 regu. Jumlah anggota tiap regu adalah 15 orang. Memiliki 3 menara pantau api tapi hanya 1 sesuai spesifikasi. Dua lagi tidak memenuhi standar. Harusnya PT SSS menyediakan 11 menari api dengan ketinggian 15 meter. Embung di lahan PT SSS hanya 4 unit yang seharusnya dibuat 10 unit. Pada saat memadamkan api, regu kesulitan air dan harus menggali tanah agar dapat sumber air.

Selain itu, PT SSS juga masih kekurangan sarana prasarana pemadaman api. Letak gudang penyimpanan alat jauh dari lokasi terbakar dan tidak ada akses ke sana. PT SSS tidak memiliki dokumen Rencana Kerja Pembukaan dan/atau Pengelolaan Lahan Perkebunan (RKPPLP) yang disahkan Kepala Dinas Perkebunan Pelalawan. Dampaknya, perusahaan ini membuka dan mengolahnya belum sesuai aturan.[1]

“Bahkan hakim menyebut secara khusus pentingnya peran Pemda dalam melakukan pengawasan. Majelis hakim berpendapat, kebakaran di lahan PT SSS jadi pembelajaran bagi  pemerintah daerah yang telah mengeluarkan izin lingkungan agar selalu mengawasi di lapangan secara periodik dan berkala,” kata Okto.

Pantauan Jikalahari, sejak Gubernur Riau Abdul Wahid menetapkan Riau status siaga karhutla pada Maret 2025, analisis hotspot berdasarkan Citra Soumi NPP-VIIRS (National Polar orbiting Partnership-Visible Infrared Imaging Radiometer Suite), terdapat 86 hotspot yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota Provinsi Riau, diantaranya: Pelalawan 18 titik, Dumai 14 titik, Kampar 13 titik, Siak 10 titik, Rokan Hulu 9 titik, Bengkalis 7 titik, Indragiri Hulu 6 titik, Rokan Hilir 5 titik, Kuantan Singingi 3 titik, dan Pekanbaru 1 titik. 7 hotspot berada di lahan gambut dengan kedalaman gambut 1 hingga 4 meter

Terdapat 13 hotspot yang berada pada kawasan perusahaan, 1 titik di kawasan PT Diamond Raya Timber (IUPHHK-HA) dan 12 titik berada di kawasan perkebunan sawit, yaitu: Perkebunan V Sei Garo 4 titik, PT Tri Hasta Palma 2 titik, dan 1 titik pada beberapa konsesi kelapa sawit milik PT Agro Citra Mulia, PT Alam Sari Lestari, PT Kharisma Riau Sentosa Prima, PT kilau Kemuning, PT Subur Arum Makmur, dan PT Udaya Loh Jinawi.

Selain itu, berdasarkan data BNPB, luas karhutla di Riau hingga Mei 2025 mencapai 87,81 hektare yang tersebar di Kabupaten Bengkalis, Siak, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan, Kota Dumai dan Pekanbaru. 

“Luas kebakaran terus bertambah di Riau dan hotspot mulai bermunculan di konsesi korporasi, Gubernur harus merespon cepat, bersama Bupati dan Walikota se Riau harus segera mengaudit seluruh korporasi di Riau,” kata Okto.

Audit kepatuhan korporasi sejatinya sejalan dengan Perda Riau Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Karhutla, di mana Gubernur memiliki kewajiban untuk:

Pertama, penataan lahan gambut. Dalam perda ini mewajibkan pemerintah daerah melakukan (1) penataan ulang pengelolaan dan pemanfaatan gambut sesuai peruntukan tata ruang wilayah dan provinsi, (2) peninjauan ulang perizinan gambut, (3) menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan gambut.

Kedua, audit kepatuhan. Setiap pemegang izin wajib melakukan audit kepatuhan ketersediaan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan setiap dua tahun sekali dengan melibatkan pemerintah daerah, hasil audit kepatuhan disampaikan kepada masyarakat sebagai informasi publik melalui media cetak dan elektronik.

Ketiga, pengawasan pemerintah daerah. Pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan, evaluasi dan monitoring terhadap kelengkapan dan kondisi sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan terhadap setiap pemegang izin secara berkala paling sedikit enam bulan sekali dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dibidang lingkungan hidup.

Jikalahari merekomendasikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid untuk segera menjalankan Perda Nomor 1 Tahun 2019 dengan melakukan penataan lahan gambut, audit kepatuhan korporasi, pengawasan dan evaluasi serta monitoring terhadap korporasi sebelum terjadi karhutla. 

“Menjalankan Perda 1 Tahun 2019 adalah esensi dari tagline Gubernur, “Melindungi Tuah, Menjaga Marwah” dan harapan 2025 Riau akan bebas dari asap semakin nyata,” pungkas Okto. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |