
SEORANG ibu tiga anak dari Bradford, Hafsa Begum, kini menjalani perawatan penyelamat nyawa akibat penyakit ginjal kronis, setelah menemukan ada darah dalam urinenya pada Mei 2023 dan segera memeriksakan diri ke dokter. Sebelum didiagnosis, Hafsa menjalani kehidupan yang aktif bersama keluarganya. Namun, gejala yang muncul secara tiba-tiba membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama dua bulan dan akhirnya didiagnosis mengalami trombosis ginjal.
"Jika saya tidak segera memeriksakan diri ke dokter, ada risiko bahwa gumpalan darah yang mempengaruhi ginjal saya bisa berakibat fatal seperti menyerang otak, paru-paru, atau jantung. Dengan mengenali gejala lebih awal, saya bisa mendapatkan perawatan dialisis dan merencanakan transplantasi ginjal,” ujar Hafsa, yang bekerja sebagai perawat di layanan kesehatan primer NHS.
Mengenali gejala penyakit ginjal
Hafsa pertama kali mengalami gejala saat bekerja. Ada darah dalam urinenya, nyeri di bagian samping tubuh, serta jantung berdebar-debar.
"Sering kali kita mengabaikan atau mencari alasan atas gejala yang muncul. Padahal penting untuk mendengarkan tubuh kita. Darah dalam urine saya terlihat jelas, tetapi saya tahu tidak semua penderita penyakit ginjal mengalaminya. Kadang perubahan terjadi secara halus, terutama jika kita tidak tahu warna urine normal kita," katanya.
Karena menyadari gejalanya, Hafsa segera menemui dokter. Hasil tes darah menunjukkan bahwa fungsi ginjalnya menurun drastis. Ia pun dirawat selama dua bulan untuk menjalani berbagai tes, pemindaian, dan biopsi guna mencari tahu penyebabnya.
Akhirnya, dokter menemukan bahwa Hafsa mengalami trombosis ginjal. Terjadi pembekuan darah di salah satu pembuluh darah yang menyaring darah dari ginjal. Kondisi ini menyebabkan cedera ginjal akut (AKI), yaitu kehilangan fungsi ginjal yang biasanya bersifat sementara. Setelah perawatan, fungsi ginjalnya dapat distabilkan di angka 19% dan ia diperbolehkan pulang. Namun, pada awal 2024, kondisinya kembali memburuk.
Hidup dengan penyakit ginjal
Mual, muntah, kehilangan nafsu makan, serta penurunan berat badan menjadi tanda bahwa Hafsa mengalami penyakit ginjal kronis. Pada Maret 2024, ginjalnya benar-benar gagal berfungsi dan dialisis menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Selama setahun terakhir, Hafsa menjalani dialisis di rumah sakit tiga kali seminggu, masing-masing selama tiga setengah jam.
"Banyak orang tidak menyadari dampak dialisis terhadap kehidupan. Prosesnya menyakitkan, melelahkan, dan sering kali menyebabkan sakit kepala. Saya begitu kelelahan setelah sesi dialisis sehingga harus tidur sepanjang hari untuk pulih,” papar Hafsa.
Meskipun tim medis terus menyesuaikan perawatannya, tubuh Hafsa sulit beradaptasi. Ia sering mengalami tekanan darah tinggi, pusing, kelelahan, telinga berdenging, serta kedinginan hingga menggigil tak terkendali. Rasa sakit di otot dan tulang membuatnya sulit tidur nyenyak.
"Sebagai seorang ibu dan perawat, saya selalu aktif bergerak. Namun sekarang, tiga hari dalam seminggu saya harus terhubung ke mesin dialisis. Waktu yang seharusnya bisa saya habiskan bersama keluarga kini tersita. Saya juga harus membatasi makanan, minuman, dan perjalanan jauh. Sulit rasanya menikmati acara keluarga atau liburan saat harus menjalani dialisis," jelasnya.
Perubahan ini begitu berat bagi Hafsa, baik secara emosional maupun mental. Ia bahkan harus menjalani konseling untuk mengatasi dampaknya.
"Jika saya memiliki pola makan atau gaya hidup buruk, mungkin saya bisa menerima keadaan ini dengan lebih mudah. Tapi saya tidak memiliki masalah kesehatan sebelumnya, dan rasanya tidak adil," ungkapnya.
Kini, Hafsa hanya bisa bekerja paruh waktu pada hari-hari di luar jadwal dialisis karena kakinya sering bengkak.
"Saya tetap bekerja karena itu penting bagi kesehatan mental saya. Merawat pasien membantu saya melupakan kondisi saya sendiri, sampai keesokan hari saya kembali menjadi pasien," tuturnya.
Namun, dari luar, banyak orang tidak menyadari betapa berat kondisinya. "Orang-orang melihat saya berdandan dan tersenyum, jadi mereka mengira saya baik-baik saja. Padahal, hanya keluarga dan teman dekat yang benar-benar tahu seperti kondisi saya di hari-hari dialisis," terang Hafsa.
Dukungan dari suami, anak-anak, saudara, dan sahabat menjadi sumber kekuatan bagi Hafsa. "Mereka selalu ada untuk saya, menghibur saya saat saya merasa terpuruk," tambahnya.
Harapan untuk transplantasi
Saat ini, satu-satunya harapan Hafsa adalah transplantasi ginjal. "Suami saya sedang menjalani tes untuk menjadi donor hidup, dan saya juga terdaftar dalam daftar tunggu transplantasi. Saya hanya bisa berharap prosesnya segera berjalan, meskipun saya sadar bahwa ketersediaan donor dari komunitas Asia masih sangat terbatas," ujarnya.
Menurut Hafsa, kurangnya kesadaran tentang donor organ menjadi salah satu penyebab utama minimnya donor dari kelompok etnis tertentu.
"Diperlukan lebih banyak edukasi agar orang mempertimbangkan donor organ. Jika informasi tersedia dalam lebih banyak bahasa dan menjangkau berbagai kelompok agama, saya yakin lebih banyak orang yang akan menyadari dampak besar yang bisa mereka berikan dengan menjadi donor," jelasnya.
Sambil menunggu transplantasi, Hafsa sudah menyiapkan tasnya agar bisa langsung berangkat kapan pun ada kabar baik. "Semoga setelah transplantasi, saya dan keluarga bisa kembali menikmati hiking dan perjalanan bersama. Saya rindu merasakan ketenangan saat bisa berlibur dan menjauh dari rutinitas. Hidup dengan penyakit ginjal memang sulit, tetapi saya berusaha menjalani hari demi hari," harapnya.
Siapa saja bisa mengalami penyakit ginjal
Diperkirakan sekitar 7,2 juta orang di Inggris hidup dengan penyakit ginjal kronis, yang bisa menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. "Saya tidak pernah menyangka akan mengalami penyakit ini dan harus menjalani dialisis. Semua terjadi begitu cepat. Saya yang dulu mengendalikan hidup saya, kini kehilangan kebebasan itu," lontarnya.
Hafsa berharap lebih banyak orang memahami dampak penyakit ginjal dan lebih waspada terhadap gejalanya. "Perhatikan tanda-tandanya, seperti perubahan warna urine dan segera periksa ke dokter. Jika bukan karena dialisis, saya mungkin harus menjalani perawatan paliatif sekarang," pungkas Hafsa. (Kidney Research UK/I-2)