
KEJAKSAAN Tinggi DKI Jakarta menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembiayaan fiktif di lingkungan PT TI untuk periode 2016–2018. Penetapan ini menjadi pukulan telak bagi kredibilitas perusahaan, yang diduga membungkus proyek-proyek palsu bernilai ratusan miliar rupiah dengan kemasan legalitas bisnis.
"Total nilai proyek kerja sama sembilan perusahaan tersebut dengan empat anak perusahaan PT TI sebesar Rp431,7 miliar,” ujar Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Syarief Sulaiman, Kamis (8/5).
Syarief menyebut para tersangka sepakat melakukan kerja sama bisnis pengadaan barang dengan menggunakan anggaran yang berasal dari PT TI. Namun, penunjukan vendor oleh empat anak perusahaan itu tak pernah terealisasi. Proyek-proyek yang seharusnya dijalankan, pada kenyataannya, fiktif.
Uang ratusan miliar rupiah tersebut mengalir dalam proyek-proyek yang tidak pernah benar-benar ada. Rinciannya mencakup pengadaan baterai litium ion dan genset senilai Rp64,4 miliar oleh PT AE, serta proyek smart mobile energy storage sebesar Rp22 miliar oleh PT IVQ.
PT JMP tercatat dalam proyek pengadaan material mekanikal (HVAC), elektrikal, dan elektronik untuk proyek Puri Orchad Apartemen senilai Rp60 miliar. PT G terlibat dalam proyek instalasi sistem gas processing plant di Gresik senilai Rp45 miliar, sedangkan PT FAST mengerjakan proyek pemasangan smart supply chain management senilai Rp13,2 miliar.
Anggaran juga dikuras untuk proyek pemeliharaan civil, mechanical, dan electrical (CME) melalui PT FCN dengan nilai Rp67,4 miliar. PT VIS disebut dalam proyek layanan solusi multi-channel pengelola visa Arab senilai Rp33 miliar.
PT CAM menangani proyek smart café dan renovasi ruang The Foundry 8 di SCBD dengan anggaran Rp114,9 miliar. Terakhir, PT BPJ menjalankan pengadaan hardware dashboard monitoring service dan perangkat smart mean measurement CT scan dengan nilai proyek Rp10,9 miliar.
Delapan tersangka kini mendekam di Rumah Tahanan Negara Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Rutan Cipinang untuk masa penahanan awal selama 20 hari. Sementara itu, tersangka berinisial DP menjadi tahanan kota di Depok, karena alasan medis.
“Tersangka DP menjadi tahanan Kota Depok dengan pertimbangan alasan kesehatan yang membutuhkan perawatan intensif dari dokter,” pungkas Syarief.
Kesembilan tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 Jo Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Z-10)