
PAKAR hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Hudi Yusuf menilai polisi bisa membuka kembali kasus penggelapan dana dengan tersangka dua Warga Negara Asing (WNA) asal India yang telah dibebaskan dengan alasan restorative justice.
"Seyogyanya polisi dapat membuka peluang terhadap korban untuk membuka laporan baru atau menindaklanjuti dari laporan yang telah dicabut untuk melanjutkan perkara dengan alasan demi hukum," ujarnya dalam pernyataan di Bandarlampung, Senin.
Sebelumnya, dua tersangka WNA asal India yakni AS dan SH yang terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan besar asal Arab Saudi, dibebaskan oleh penegak hukum.
Keduanya dilaporkan pada 2022 lalu lantaran membuat dan menggunakan surat palsu dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sehingga perusahaan harus membayar tagihan sebesar Rp17 miliar.
Namun, dua tersangka WNA asal India tersebut dibebaskan melalui mekanisme perdamaian restorative justice di tahun 2023, tanpa sepengetahuan dan keterlibatan pemilik perusahaan.
Hudi mengatakan upaya hukum lanjutan tersebut bisa dilakukan untuk memberikan rasa keadilan kepada pihak yang dirugikan dan tidak mendapatkan kesempatan yang memadai dalam kasus hukum.
"Jika tidak demikian akan banyak pencari keadilan mengalami kerugian, apabila tersangka tidak mematuhi kesepakatan yang telah dibuat, karena restorative justice dijadikan sebagai 'alat' melakukan tindak pidana lagi," kata Hudi.
Ia pun menyatakan bahwa pembebasan tersangka karena restorative justice harus sesuai dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 yang mengatur Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan pelapor tidak boleh dirugikan.
"Pihak yang dirugikan menghendaki restorative justice, dan tercapai kesepakatan pengembalian kerugian, sudah diselesaikan semua kerugian itu dan lain-lain," ujarnya.
Dua WNA asal India itu telah dilaporkan kembali ke Polda Metro Jaya. “Laporan polisi itu bernomor No.LP/B/5281/X/2022/SKPT tentang dugaan tindak pidana menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik dan/atau penggelapan dalam jabatan yang melanggar Pasal 266 KUHP dan/atau Pasal 374 KUHP,” bunyi laporan itu dikutip pada Minggu, 16 Februari 2025 (Ant/P-4)