
INDONESIA sampat saat ini masih menghadapi persoalan tumpang tindih regulasi dan disharmonisasi antarperaturan yang menghambat penerapan prinsip rule of law. Karena itu, harmonisasi sistem hukum nasional penting dilakukan.
"Bagaimana kita dapat menegakkan supremasi hukum jika sistem perundang-undangan masih menghadapi tantangan tumpang tindih dan mispersepsi antara satu peraturan dengan yang lain," kata Menko Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan Prof Yusril Ihza Mahendra dalam seminar nasional bertema Membangun Kolaborasi Akademisi dan Praktisi Untuk Sistem Perundang-undangan di Indonesia, di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Kamis (23/10).
Menurut Yusril, hal itu tak lepas dari sejarah panjang pluralitas hukum di Tanah Air. Masyarakat Indonesia hidup dengan mewarisi berbagai sistem hukum mulai dari hukum adat, hukum Islam, dan hukum kolonial, yang berjalan berdampingan tanpa integritas utuh. Kondisi ini melahirkan perbedaan legitimasi dan penerapan di lapangan.
"Kalau tidak dikelola dengan baik, pluralitas itu bisa memunculkan ketidakteraturan dan diskriminasi," ucap Yusril.
Untuk itu, Yusril menilai, pembangunan hukum nasional ke depan perlu mengarah pada proses harmonisasi dan kodifikasi lebih sistematis. Ini dilakukan agar hukum Indonesia tak hanya jadi kumpulan norma, tetapi juga menjadi instrumen efektif dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Eddy Pratomo memandang sistem perundang-undangan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan kompleks yang mencerminkan dinamika politik, sosial, dan hukum yang terus berkembang.
Beberapa permasalahan yang kerap muncul antara lain tumpang tindih regulasi, disharmoni antarperaturan, rendahnya mutu naskah akademik, serta minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang- undangan.
Dalam konteks tersebut, menurut Eddy, kolaborasi antara akademisi dan praktisi menjadi hal mendesak untuk diperkuat. Akademisi memiliki peran penting dalam memberikan landasan konseptual, metodologis, dan analitis bagi pembentukan hukum yang berbasis pada nilai-nilai keadilan dan rasionalitas ilmiah.
Adapun bagi praktisi hukum, seperti perancang peraturan, pejabat legislatif, dan aparatur kementerian, memiliki pengalaman empiris dalam implementasi kebijakan dan penegakan hukum.
"Keterpaduan pemikiran akademik dan pengalaman praktis akan memperkaya kualitas substansi peraturan perundang-undangan sekaligus memperkuat legitimasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," terang Eddy.
Pendiri STH Indonesia Jentera dan Partner Assegaf Hamzah & Partners, Ahmad Fikri Assegaf, menyampaikan sinergi antara pemangku kepentingan menjadi kebutuhan nyata agar hukum Indonesia berkembang mengikuti zaman dan terharmonisasi dengan baik.
"Dengan kolaborasi, hukum nasional dapat menjadi fondasi yang kokoh. Kalau akademisi, pemerintah, dan praktisi bisa duduk bersama, saya yakin kualitas legislasi kita bakal meningkat pesat seiring perkembangan zaman,” tutup Ahmad Fikri.
Pada seminar nasional sebagai bagian dari Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Ilmu Perundang-undangan (Asipper) 2025 itu, juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Asipper, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum, dan Badan Keahlian DPR RI. (H-2)