
Laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa 1 dari 2 orang di dunia memiliki sikap ageist, yaitu prasangka, stereotip, atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan usia. Sikap ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari candaan bernada merendahkan hingga penyingkiran kesempatan kerja. Fenomena ini dampaknya terasa di banyak bidang, termasuk industri kreatif seperti fashion.
Dalam konteks desain mode, ageism sering tampil secara halus, seperti contohnya, usia muda dianggap sinonim dengan inovasi, sementara desainer senior kerap dicap tidak lagi relevan. Padahal, menurut WHO, pandangan ageist tidak hanya menurunkan kepercayaan diri seseorang, tetapi juga membatasi potensi sosial dan ekonomi dari kelompok usia yang lebih matang.
Fenomena ini menjadi sorotan dalam forum diskusi fashion di Jakarta yang diikuti sejumlah desainer perempuan lintas generasi. Mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana industri yang haus kebaruan ini sering kali mengabaikan nilai dari pengalaman panjang dan kematangan ide.
Desainer sekaligus pendiri label ASTISURYA, Asti Surya, mengakui sempat merasa tidak percaya diri di tengah cepatnya perkembangan dunia digital.
“Sebagai milenial, saya sempat insecure lihat Gen Z yang canggih-canggih banget. Mereka lebih jago dalam presentasi visual dan lebih paham cara kerja internet. Tapi menolak kebaruan itu rasanya kayak bertentangan dengan diri sendiri,” ujarnya dalam sesi doorstop di acara tersebut pada Senin (20/10).
Bagi Asti, cara terbaik melawan ageism adalah dengan terbuka terhadap perubahan tanpa kehilangan jati diri.
“Kalau terus berdebat di pikiran sendiri, kita gak akan maju. Jadi ya, lakuin aja. Terjun dan belajar,” tambahnya.
Sementara itu, Senior Brand Manager dari POND'S, Esa Mahira Arman menilai bahwa sikap ageist sering muncul dari rasa takut terhadap perubahan. Ia menekankan pentingnya merangkul setiap fase kehidupan, termasuk proses menua, sebagai bagian dari pertumbuhan kreatif.
“Semua orang pasti mengalami jatuh, bangun, dan jenuh. Tapi yang penting adalah bagaimana kita terus menemukan lapisan diri baru, sama seperti cara kita meng-embrace pertambahan usia,” tuturnya di kesempatan yang sama.
Senada dengan itu, Creative Director Jakarta Fashion Week (JFW), Andandika Surasetja dalam acara tersebut menegaskan bahwa inklusivitas usia kini menjadi fokus penting dalam industri fashion Indonesia.
“Dulu orang menganggap fashion itu eksklusif, tapi sekarang kami justru ingin membalik paradigma itu. Inclusivity is here, dan kami ingin menggaungkan bahwa ruang di dunia mode terbuka untuk semua usia,” ujarnya.