
PENYAKIT radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) kian menjadi sorotan serius dunia medis di Indonesia. Meski prevalensinya belum tercatat jelas, para ahli memperingatkan bahwa IBD bukan sekadar gangguan pencernaan, melainkan penyakit autoimun kronis yang dapat memicu komplikasi mematikan.
Dalam peresmian pusat layanan IBD di RS Abdi Waluyo, Jakarta, Jumat (12/9), dokter spesialis penyakit dalam, Paulus Simadibrata, menegaskan IBD dipicu faktor genetik, konsumsi makanan ultra-proses, penggunaan antibiotik berlebihan, dan ketidakseimbangan flora usus.
“Radang kronis di usus bisa merembet ke organ lain, mata, sendi, paru-paru, bahkan kulit. Bahaya nyata muncul ketika terjadi komplikasi,” ujarnya.
Dokter Indra Marki menambahkan, pasien IBD berisiko mengalami penyempitan usus, pembentukan fistula hingga tembus ke kulit, serta kondisi darurat seperti toxic megacolon.
“Pada tahap itu, operasi besar kerap menjadi satu-satunya pilihan. Dampak jangka panjang lain berupa anemia kronis dan gangguan sendi,” kata Indra.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menyoroti lemahnya data nasional terkait IBD. “Banyak pasien hidup dengan gejala, tapi tidak pernah terdiagnosis. Tanpa penanganan tepat, risikonya sangat besar,” ujar Dante.
Peluncuran RS Abdi Waluyo IBD Center dan Rudolf Simadibrata Gastroenterology-Hepatology & Endoscopy Center menjadi tonggak baru penanganan IBD di tanah air. Fasilitas ini bekerja sama dengan IBD Center University of Chicago dan tercatat sebagai anggota pertama Indonesia di European Crohn’s and Colitis Organization (ECCO).
Para pakar berharap pusat ini menjadi rujukan nasional, memperkuat riset, membangun registri pasien, sekaligus meningkatkan kesadaran publik akan bahaya IBD. (Z-10)