Ilustrasi(Dok Kemendiktisaintek)
                            PENATAAN mesjid di era kini perlu diarahkan ulang agar lebih diminati generasi muda. Hal itu disampaikan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Prof Fauzan dalam diskusi Rapat Kerja Nasional dan Jambore Nasional Asosiasi Mesjid Kampus Indonesia (AMKI) di Universitas Brawijaya (UB), Malang,Jawa Timur,kemarin, di hadapan ratusan peserta Rakernas
Fauzan menyoroti masih minimnya minat mahasiswa untuk terlibat aktif mengurus mesjid kampus.
“Saya yakin, dari ratusan peserta yang hadir, hanya sedikit yang sejak awal benar-benar berniat menjadi pengurus mesjid kampus,” ungkap Fauzan melalui keterangannya.
Ia juga mengaku dirinya pun dulu menjadi pengurus mesjid bukan karena niat awal, melainkan karena sedikitnya orang yang mau terlibat. Menurutnya, posisi pengurus mesjid sering kali tidak dianggap menarik secara sosial maupun profesional, padahal dari sinilah seharusnya lahir generasi muda yang berintegritas dan berdaya kepemimpinan.
Fauzan kemudian mengajak peserta untuk memikirkan kembali cara pengelolaan mesjid kampus agar tampil lebih segar dan profesional. Ia mencontohkan perlunya pembaruan dari sisi nomenklatur dan citra.
“Mesjid kampus bisa mempelopori perubahan, misalnya mengganti istilah takmir menjadi Direktur Mesjid dan tampil dengan gaya yang lebih profesional, berpakaian rapi, berdasi, dan komunikatif,” cetusnya.
Ubah Image
Langkah sederhana ini, menurut Fauzan, akan membantu mengubah citra atau image pengurus mesjid agar lebih dekat dengan dunia profesional dan anak muda. Ia menilai, persepsi bahwa mengurus mesjid tidak memiliki masa depan perlu diubah agar posisi tersebut justru menjadi kebanggaan dan bentuk kontribusi nyata bagi masyarakat kampus.
Perubahan penampilan dan manajemen, lanjut Fauzan, harus dibarengi dengan penataan keuangan yang lebih transparan dan terencana. Ia menyoroti bahwa masalah keuangan sering kali menjadi hambatan utama dalam pengelolaan program besar di lingkungan mesjid kampus. Dengan tata kelola yang sehat, mesjid kampus dapat menjalankan program yang berkelanjutan sekaligus menjadi model manajemen keagamaan yang akuntabel di lingkungan perguruan tinggi.
Lebih jauh, Fauzan menekankan bahwa masjid kampus tidak boleh berhenti pada fungsi ritual. Mesjid harus menjadi pusat kaderisasi mahasiswa dan penguatan sumber daya manusia kampus. Ia mengusulkan konsep pesantren mahasiswa berbasis mesjid kampus, sebuah model kaderisasi yang memadukan nilai keagamaan dengan sistem pendidikan tinggi.
“Jangan dulu membayangkan membangun pesantren dari nol. Mulailah dengan menghimpun potensi lokal, memanfaatkan rumah warga atau asrama sekitar kampus untuk dijadikan pesantren mahasiswa,” ujarnya.
Konsep ini, kata Fauzan, memungkinkan mesjid untuk berperan sebagai pengelola kurikuler yang mengorkestrasi kegiatan pembinaan moral dan spiritual mahasiswa. Aktivitas di pesantren mahasiswa juga dapat diintegrasikan dengan sistem akademik kampus melalui konversi nilai yang relevan dengan mata kuliah keagamaan atau etika. Sehingga. mesjid kampus menjadi ruang belajar alternatif yang tetap berkontribusi terhadap capaian akademik mahasiswa.
Fauzan menilai, model pesantren mahasiswa akan melahirkan dampak sosial dan ekonomi yang luas. Kehadiran mahasiswa dalam program tersebut dapat menggerakkan ekonomi warga sekitar karena rumah-rumah kos bisa dioptimalkan sebagai tempat tinggal santri mahasiswa. Ustaz dan tokoh lokal dapat direkrut sebagai pengajar atau pembimbing, sementara kegiatan pesantren akan menghidupkan ekosistem sosial di sekitar kampus.
“Mesjid kampus bisa menjadi pusat ekosistem sosial yang hidup, bukan hanya tempat ibadah,” katanya.
Ia menambahkan, jika dikelola dengan baik, mesjid kampus dapat menjadi embrio pesantren mahasiswa yang berdaya, tempat tumbuhnya sumber daya manusia unggul dan berkarakter. Melalui sinergi antara masjid, akademisi, dan masyarakat, kegiatan di sekitar masjid akan melahirkan interaksi yang produktif: mahasiswa mendapat pembinaan, warga mendapat manfaat ekonomi, dan kampus memiliki ruang aktualisasi nilai-nilai moral yang konkret.
Diskusi Rakernas dan Jambore Nasional AMKI di Universitas Brawijaya turut menghadirkan Rektor UB Prof Widodo serta ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan berlanjut hingga . dengan agenda mabit di Mesjid Raden Patah UB. Menutup sesinya, Fauzan berpesan, “Mesjid kampus adalah pusat energi moral dan intelektual bangsa. Bila masjid kampus hidup, maka kampus dan masyarakat di sekitarnya pun akan ikut hidup.” (H-2)
 


















































