
DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Made Krisna Dinata mengatakan banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bali menunjukkan rapuhnya daya dukung lingkungan akibat tata kota dan tata ruang yang buruk.
Menurutnya, situasi ini tidak hanya dipicu oleh faktor cuaca ekstrem dan perubahan iklim, tetapi juga diperburuk oleh praktik pembangunan yang kerap menabrak aturan tata ruang.
"Situasi daya dukung yang kian memburuk akibat tata kota dan tata ruang yang serampangan jelas menjadi dasar bagi terjadinya banjir, dan itu semakin didistorsi oleh adanya perubahan iklim," kata Krisna saat dihubungi, Kamis (11/9).
Ia mengatakan, penerapan tata ruang di Pulau Dewata sangat buruk. Hal itu terlihat dari berbagai rencana pembangunan yang sering kali mengalihfungsikan lahan produktif dan melanggar aturan.
"Pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalihfungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangunan, proyek yang menabrak sempadan pantai maupun sungai, hingga pembangunan di kawasan rawan bencana adalah kombinasi krusial yang membuat Bali semakin rentan terhadap bencana, salah satunya banjir," jelasnya.
Sebagai langkah mitigasi, WALHI Bali menegaskan perlunya penghentian seluruh bentuk pembangunan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi lahan. Moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) dianggap sebagai kebijakan mendesak yang harus segera dijalankan.
Selain itu, WALHI Bali juga mendesak penegakan hukum tata ruang terhadap pembangunan yang melanggar aturan sempadan pantai dan sungai, serta proyek-proyek yang mengancam hutan dan pesisir. Upaya pemulihan lingkungan di kawasan hulu Bali dan penghentian mega proyek yang mengorbankan lahan pertanian juga menjadi tuntutan utama.
"Rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk–Mengwi, pengembangan kawasan Pelabuhan Sangsit, dan pembangunan akomodasi pariwisata masif di Denpasar maupun Badung hanya akan semakin memperparah kerentanan Bali terhadap bencana ekologis," tuturnya.
Dengan demikian, banjir yang melanda Bali bukan sekadar bencana alam, melainkan juga buah dari kesalahan tata ruang dan orientasi pembangunan yang lebih mengutamakan investasi dibandingkan keberlanjutan lingkungan. (Fik/M-3)