Walhi Nilai Penyusunan NDC Jauh dari Prinsip Keadilan Iklim

4 hours ago 1
Walhi Nilai Penyusunan NDC Jauh dari Prinsip Keadilan Iklim (FreePik.com)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa pemerintah Indonesia gagal memastikan prinsip partisipasi bermakna dalam penyusunan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Proses penyusunan draf NDC dinilai tertutup dan tidak melibatkan seluruh unsur masyarakat secara menyeluruh.

Dokumen NDC hanya dibuka dan disosialisasikan secara terbatas dalam waktu kurang dari satu bulan sebelum pelaksanaan COP 30 Konferensi Perubahan Iklim PBB. Dari sisi substansi, Walhi juga menilai draf tersebut tidak mencerminkan tuntutan keadilan iklim dan justru mengandung kontradiksi antara target penurunan emisi dengan kebijakan ekonomi nasional.

"Target iklim dalam NDC ini masih semu dan kita masih dihadapkan pada kenyataan emisi skala besar akan terus dihasilkan dari kebijakan serta program nasional yang bertumpu pada model ekonomi pertumbuhan yang ekstraktif," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring dalam keterangannya, Kamis (23/10).

Walhi menegaskan, tidak akan ada perencanaan aksi iklim yang adil tanpa keterbukaan informasi dan partisipasi penuh rakyat.

Boy pun menyatakan, terdapat tujuh catatan kritis Walhi atas subtansi NDC yang terbaru tersebut. Berikut rinciannya:

1. Ketergantungan pada energi fosil

Walhi menyoroti NDC yang masih bertumpu pada energi fosil sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025–2034. Pemerintah menargetkan tambahan 16,6 GW kapasitas pembangkit berbasis fosil, dengan 10,3 GW di antaranya berasal dari gas. Walhi menilai ketergantungan ini berisiko menambah emisi dan beban fiskal negara karena belum ada roadmap penutupan PLTU tua.

Penurunan bertahap PLTU batu bara mulai 2030 dinilai bukan solusi strategis. Walhi juga mengkritik model transisi energi berbasis bioenergi, hidrogen hijau, dan panas bumi yang justru mendorong deforestasi dan perampasan wilayah adat.

2. Target elektrifikasi transportasi

Pemerintah menargetkan dua juta kendaraan listrik roda empat dan 13 juta roda dua pada 2030. Walhi menilai kebijakan ini akan mempercepat ekspansi tambang nikel di Sulawesi, Maluku, Raja Ampat, dan pulau kecil lainnya.

Pada 2022, luas konsesi tambang nikel mencapai 1 juta hektare, dengan 765 ribu hektare berada di kawasan hutan. Selain itu, penggunaan PLTU batu bara untuk smelter nikel akan membuat sektor energi tetap bergantung pada bahan bakar fosil.

3. Swasembada pangan dan energi berpotensi picu deforestasi

Program 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi dinilai bertentangan dengan komitmen iklim. Walhi menghitung, pembukaan 4,5 juta hektare hutan saja dapat melepaskan 2,59 miliar ton emisi karbon.

4. Adaptasi berbasis ekosistem belum nyata

Walhi menilai pendekatan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas dalam NDC belum tercermin dalam praktik. Hingga Agustus 2025, seluas 848.274 hektare wilayah kelola rakyat belum memperoleh SK pengakuan pemerintah. Walhi menantang Kementerian Kehutanan untuk menyelesaikan proses rekognisi ini sebelum COP 30 berlangsung.

Selain itu, pemerintah dinilai gagal melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebanyak 248 izin tambang di 43 pulau kecil harus dikoreksi agar target rehabilitasi mangrove 2 juta hektare pada 2030 tidak gagal.

5. Pendanaan iklim belum adil dan aksesibel

Walhi menilai tidak ada langkah progresif dalam membangun model pendanaan iklim yang adil dan dapat diakses rakyat. Mekanisme pendanaan melalui BPDLH dinilai terlalu terpusat dan birokratis. Bahkan, Walhi mengungkap dana iklim pernah disalurkan kepada Medco Group untuk kebun energi di wilayah adat suku Marind, yang justru merusak hutan adat mereka.

6. Mekanisme bisnis karbon berpotensi greenwashing

NDC dinilai masih mengandalkan Carbon Offset Mechanism untuk sektor kehutanan dan lahan, serta Emissions Trading System (ETS) untuk sektor energi dan industri. Walhi menilai mekanisme ini justru memberi ruang bagi praktik greenwashing dan land banking yang memperparah ketimpangan.

7. Penghitungan karbon dari produk kayu berisiko salah arah

Walhi mengkritik dimasukkannya Harvested Wood Products (HWP) dalam penghitungan serapan karbon. Model ini dianggap mendorong bisnis logging dengan dalih mitigasi iklim, sekaligus mengabaikan fungsi sosial dan ekologis hutan.

Produk kayu seperti kertas dan karton berumur pendek, sehingga karbon yang diserap cepat dilepaskan kembali ke atmosfer. Walhi menilai pendekatan ini menciptakan "ilusi netral karbon" yang menyesatkan.

"Substansi NDC ini belum mampu menjawab persoalan krisis iklim secara struktural dan sistemik, sehingga masih sangat jauh dari tuntutan keadilan iklim. Prinsip keadilan iklim belum tercermin dalam proses maupun substansi NDC. Kami tidak heran, sebab dokumen NDC ini disusun secara tertutup, tidak memastikan partisipasi penuh rakyat," tuturnya.

Walhi menyerukan agar pemerintah mengembalikan proses perumusan aksi iklim kepada rakyat, dengan berbasis pada keadilan sosial, ekologis, dan hak asasi manusia.

"Sudah saatnya kembali ke rakyat, untuk merumuskan kembali aksi adaptasi dan mitigasi iklim berbasis keadilan, sehingga Indonesia bukan hanya dapat berkontribusi, tetapi memimpin aksi iklim secara global," pungkasnya. (H-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |