
INDONESIA tengah menghadapi krisis serius: menjadi penyumbang sampah makanan terbesar kedua di Asia. Data mengejutkan ini diungkap Direktur Kewaspadaan Pangan Badan Pangan Nasional, Nita Yulianis, berdasarkan laporan FAO 2023.
Secara global, lebih dari 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun setara sepertiga produksi pangan dunia. Ironisnya, fakta ini berbanding terbalik dengan kondisi jutaan orang yang masih kelaparan.
“Lebih dari 735 juta orang di dunia masih mengalami kelaparan kronis, termasuk di Indonesia yang menghadapi angka stunting dan kurang gizi tinggi,” ungkap Sekjen Indonesian Gastronomy Community (IGC), Dr. Ray Wagiu Basrowi, saat jumpa pers di Hotel Grand Sheraton Gandaria City, Jakarta (18/6).
Tak hanya itu, limbah makanan juga menjadi biang keladi krisis iklim.
“Limbah makanan ini juga menyumbang 8–10 persen emisi gas rumah kaca global,” tegas Dr. Ray. Kondisi ini mendorong IGC untuk meluncurkan gerakan edukasi dan pengendalian sisa makanan, mulai dari level rumah tangga hingga industri gastronomi.
Dampak Nyata di Tanah Air
Di Indonesia, antara 23 hingga 48 juta ton makanan berakhir di tempat pembuangan akhir setiap tahun, demikian data Bappenas (2021).
“Makanan bukan hanya untuk dinikmati, tapi juga harus dihargai. Kontrol limbah makanan bukan soal mengurangi rasa, tapi menambah makna,” kata Dr. Ray Wagiu Basrowi.
Ketua Umum IGC, Ria Musiawan, menyerukan tiga aksi konkret yang bisa dilakukan masyarakat dan pelaku industri:
- Mulai dari piring sendiri: Ambil secukupnya, habiskan sepenuhnya.
- Dukung restoran dan pelaku gastronomi: Pilih yang menerapkan prinsip zero food waste.
- Edukasi dan ubah pola makan: Menuju gaya hidup sehat dan berkelanjutan.
IGC juga berupaya menanamkan kesadaran sejak dini melalui pendidikan dan cerita lokal.
“Kami menghidupkan kembali cerita folklore seperti nasihat nenek moyang, ‘Habiskan makanan, kalau tidak nanti Dewi Sri menangis’,” papar Ria Musiawan.
Pendekatan ini terbukti efektif, seperti di Kalimantan, kolaborasi IGC dengan ibu-ibu PKK mengangkat pangan lokal singkah sebagai menu baru yang berhasil menurunkan angka stunting dalam tiga bulan.
Gen Z: Pahlawan Pangan Masa Kini
Nita Yulianis menyoroti peran strategis Gen Z. Dengan melek teknologi dan aktif di media sosial, mereka berpotensi besar menjadi agen perubahan dalam mengurangi sampah makanan.
Namun, kebiasaan memesan makanan impulsif dan kurangnya kesadaran dampak limbah menjadi tantangan.
Nita mengajak Gen Z untuk lebih mindful dalam mengelola makanan, mulai dari mengukur porsi, membawa pulang sisa makanan, hingga berbagi dengan yang membutuhkan. Nita juga memberikan tips praktis:
- Pikirkan porsi sebelum memesan.
- Jangan malu membawa pulang makanan sisa.
- Berbagi makanan yang tidak terpakai.
- Perhatikan tanggal kedaluwarsa pada kemasan.
Tantangan Pelaku Usaha F&B
Tidak hanya konsumen, pelaku usaha F&B juga memiliki peran krusial. Nita Yulianis menegaskan banyak usaha makanan dan minuman yang gulung tikar karena pengelolaan bahan baku yang tidak efisien. Ia menyarankan pelaku usaha untuk:
- Mengenali segmen pasar.
- Menggunakan bahan lokal.
- Fokus pada pengolahan yang efisien.
- Melakukan tes pasar sebelum ekspansi besar.
- Berani berkolaborasi dengan komunitas untuk pengelolaan usaha yang ramah lingkungan.
Mengurangi sampah makanan adalah tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan generasi muda.
Dengan edukasi yang tepat, penghargaan terhadap pangan lokal, serta pola makan yang mindful dan berkelanjutan, Indonesia optimis dapat mengurangi limbah sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup.