Kasus Keracunan MBG Timbulkan Beban Biaya Baru untuk Pemda

2 hours ago 1
Kasus Keracunan MBG Timbulkan Beban Biaya Baru untuk Pemda FOUNDER dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih.(Dok. Antara)

FOUNDER dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih mengatakan kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) menimbulkan beban biaya tak terduga yang dibebankan pada pemerintah daerah (pemda). Akibat kasus keracunan MBG yang menimpa puluhan bahkan ratusan siswa, pemda harus mengalokasikan anggaran untuk membayar penanganan keracunan di rumah sakit daerah atau swasta setempat.

Hal ini tentu memberatkan para pemerintah daerah. Terlebih, alokasi anggaran transfer ke daerah juga berkurang 24,7 persen dari Rp864,1 triliun APBN 2025 menjadi Rp650 triliun pada RAPBN 2026.

Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi penerima manfaat, namun MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi.

Meski sudah berlangsung selama delapan bulan, program yang dijalankan terpusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini belum juga dilandasi oleh peraturan presiden sebagai payung hukum dan peraturan lainnya yang seharusnya tersedia. Dampaknya, tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak.

Diah mengatakan, absennya payung hukum MBG dan panduan teknis juga minimnya sistem pengawasan telah memicu berbagai macam persoalan di lapangan. Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.

"Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.

Diah menambahkan, maraknya kasus keracunan serta masifnya produk pangan ultra-proses dalam menu MBG juga merupakan bentuk pelanggaran hak penerima manfaat program ini, khususnya anak usia sekolah. Karenanya, CISDI mendesak pemerintah memenuhi hak penerima manfaat program MBG untuk memperoleh makan bergizi yang aman dan berkualitas.

Agar evaluasi berjalan efektif, pemerintah harus memoratorium program MBG terlebih dahulu. Klaim pemerintah bahwa program ini dapat disempurnakan sembari berjalan terbukti gagal karena kasus keracunan terus berulang dan bertambah.

Apabila pemerintah bersikukuh menjalankan MBG tanpa evaluasi total, dikhawatirkan kasus keracunan MBG akan terus terjadi dan mengancam kesehatan anak-anak. Sementara, upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak yang menjadi korban keracunan masih belum jelas.

Paralel dengan moratorium MBG, CISDI juga mendorong pemerintah segera mengatasi persoalan transparansi dan akuntabilitas yang selama ini menghambat publik untuk terlibat mengawasi pelaksanaan program ini.

“Sembari menjalankan moratorium, pemerintah perlu segera membuka kanal pelaporan dan memproses segera aduan publik sebagai langkah awal dari upaya pemulihan hak korban atas kerugian yang ditimbulkan dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak,” kata Diah.

Akuntabilitas Dipertanyakan

Menurut Diah, akuntabilitas program MBG saat ini patut dipertanyakan. Dengan klaim telah berlangsung di 38 provinsi dengan jumlah penerima manfaat MBG diklaim mencapai 22 juta. Akan tetapi, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya informasi yang dapat diakses publik.

Serapan anggaran MBG per September 2025 hanya sebesar Rp13,2 triliun. Angka ini setara 18,6 persen dari alokasi APBN untuk MBG sebesar Rp71 triliun. Selain itu, isu potensi risiko korupsi juga menguat, sebagaimana laporan Transparency International Indonesia menunjukkan beberapa menu MBG tidak mencapai nilai rata-rata penerima manfaat sebesar Rp10 ribu. Oleh karena itu, pemerintah harus serius membenahi perencanaan, penganggaran, dan kualitas belanja program MBG.

“Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita kembali menjadi korban keracunan akibat program yang direncanakan dan dijalankan tanpa perhitungan matang. Apalagi, Presiden Prabowo telah menambah anggaran MBG tahun depan hingga Rp335 triliun di RAPBN 2026,” pungkasnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |