Utang Meningkat Tajam, Ekonomi Nasional Sudah tidak Sehat

4 hours ago 2
Utang Meningkat Tajam, Ekonomi Nasional Sudah tidak Sehat Ilustrasi(MI/RAMDANI)

EKONOM Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai kondisi ekonomi nasional saat ini sedang tidak sehat. Hal ini karena beban pembayaran bunga utang meningkat tajam. 

Tahun ini, sekitar 16%–19% belanja APBN dialokasikan hanya untuk bunga utang. Pada 2025, pemerintah diperkirakan harus membayar bunga utang sekitar Rp552,1 triliun atau setara 16% dari total belanja negara. Padahal, angka amannya berada di kisaran 10%.

Selain itu, debt service ratio (DSR) yang mengukur rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara diperkirakan mencapai 45% pada 2025, jauh di atas batas aman 25%.

"Dua parameter ini menunjukkan ekonomi kita sedang tidak sehat," kata Wijayanto dalam seminar dengan tema Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi? secara daring, Rabu (10/9).

Sementara itu, rasio utang terhadap PDB (Debt to GDP Ratio) yang selama ini disebut 40%, dianggap tidak mencerminkan keseluruhan kewajiban negara.

Wijayanto menuturkan, jika dihitung lebih luas, termasuk utang subsidi yang belum dibayar, transfer daerah yang tertunda, serta kewajiban dana pensiun ASN, rasio utang bisa mencapai 45% bahkan hingga 63%. 

"Dengan demikian, meski angka 40% sering dianggap aman, realitasnya jauh lebih tinggi," tudingnya.

Hingga April 2025, pemerintah sudah menarik utang baru sekitar Rp304 triliun. Proyeksi hingga akhir tahun menunjukkan kebutuhan pembiayaan melalui utang mencapai Rp245 triliun–300 triliun, sehingga total utang pemerintah berpotensi menembus Rp9.400 triliun. Untuk 2026, rencana penerbitan utang baru diperkirakan mencapai Rp781,87 triliun.

Dalam kesempatan sama, Chairman Infobank Eko B Supriyanto menegaskan pentingnya menghentikan ketergantungan pada utang dan mencari alternatif sumber pembiayaan lain.

Menurutnya, salah satu sumber potensial adalah dana yang beredar di underground economy atau ekonomi bawah tanah. Selama 10 tahun terakhir, jumlahnya diperkirakan mencapai Rp6.539 triliun. 

"Jika dikelola dengan baik, dana ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi candu utang," ucapnya.

Risiko burden sharing
Di sisi lain, Eko juga mewaspadai rencana skema burden sharing atau pembagian beban bunga antara Bank Indonesia dan pemerintah dalam mendukung program Astacita Presiden Prabowo Subianto. Meski, skema ini akan bermanfaat untuk jangka pendek dengan penambahan likuiditas dan mendorong perekonomian, pemerintah diminta tidak terlena dan semakin mengandalkan utang sebagai sumber pembiayaan.

Ia mengingatkan, jika ketergantungan terhadap utang makin tinggi, risiko fiskal jangka panjang bisa membahayakan stabilitas ekonomi.

"Saya melihat burden sharing Astacita ini dalam prospek jangka panjang akan mengandung moral hazard jika tidak ada disiplin fiskal," imbuhnya. 

Oleh sebab itu, lanjutnya, aspek akuntabilitas dan transparansi harus menjadi perhatian utama. (Ins/E-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |