
USULAN pemberian jeda dua tahun antara gelaran pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) mendapat kirik dari Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.
Jeda tersebut merupakan salah satu model varian yang ditawarkan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja sebagai refleksi atas penyelenggaraan pemilu dan pilkada di tahun yang sama pada 2024 lalu.
Ray menduga, gagasan yang disampaikan Bagja tersebut hanya untuk menyelamatkan institusi Bawaslu itu sendiri. Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk Menjaga Marwah MK: Independen, Konsisten dan Efisien dalam Menangani Sengketa Pilkada Pasca PSU yag digelar di Jakarta, Sabtu (10/5).
"Saya kira ada unsur soal keingingan untuk menyelamatkan institusi Bawaslu. Sebab kalau dibuat dua tahun jedanya, itu artinya (anggota) Bawaslu tetep berada lima tahun (masa jabatannya)," ujarnya.
Sebelumnya, Bagja menawarkan tiga varian keserentakan pemilu yang dapat diterapkan pada 2029 mendatang. Varian pertama, sambungnya, tetap menggelar pemilu dan pilkada dalam tahun yang sama seperti 2024. Namun, dua varian lain yang ditawarkannya memberikan jeda antara satu dan dua tahun.
Varian kedua, misalnya, memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Menurut Bagja, pemilu nasional pada 2029 menjadi ajang untuk memilih anggota DPR RI, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sementara, pemilu lokal yang ditujukan untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota dilakukan pada 2030 atau 2031.
Adapun varian ketiga juga memisahkan jeda antara pemilu dan pilkada selama satu atau dua tahun. Pemilu pada 2029 digelar untuk memilih DPR RI, DPD, presiden/wakil presiden, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sedangkan, pilkada untuk memilih gubernur dan bupati atau wali kota diselenggarakan pada 2030 atau 2031.
Bagi Ray, ada motif tersendiri dari usulan yang disampaikan Bagja tersebut. Idealnya, sambung Ray, jeda antara pemilu dan pilkada adalah 12 bulan. Misalnya, pemilu digelar pada Januari, sementara pilkada pada Desember di tahun yang sama.
"Atau (pemilu) Juni ke (pilkada) Juli tahun depan, tapi tetap dalam kerangka 12 bulan. Kalau Anda minta 24 bulan, kayaknya ide untuk nyelamatin Bawaslu, bukan ide untuk memperbaiki sistem," kata Ray.
Menurut Bagja, pengalaman penyelenggaraan pemilu dan pilkada dalam tahun yang sama pada 2024 menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara, baik jajarannya maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menjelaskan, tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 yang berhimpitan berimplikasi pada fokus penyelenggara dengan beban kerja yang berat.
Bagi Bagja, penentuan ulang model keserentakan diperlukan diperlukan sebagai jaminan perlindungan hak bagi pemilih maupun peserta. Sementara, Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin juga mengakui pihaknya ngos-ngosan menyelenggarakan pemilu dan pilkada di tahun yang sama pada 2024.
Terlebih, Indonesia tak pernah punya pengalaman menggelar model keserentakan seperti 2024 sebelumnya. Ia menyarankan pembentuk undang-undang agar memberikan jeda antara pemilu dan pilkada agar tidak ada tahapan pilkada yang berhimpitan saat KPU masih menyelesaikan pelaksanaan pemilu. (Tri/P-1)