
PERTEMUAN diplomatik antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodmyr Zelensky sebagai langkah menuju perdamaian antara Ukraina dan Rusia berubah menjadi perselisihan.
Puncaknya Presiden Donald Trump dan wakilnya, JD Vance mengusir Zelensky dari Gedung Putih tersebut.
Menanggapi hal ini, Ketua Kajian AS Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, menilai Donald Trump umumnya digambarkan sebagai seorang yang transaksional. Namun, pada tingkat tertentu semua pemimpin bersifat transaksional
"Yang membedakan hanya seorang Presiden Trump itu tidak malu-malu untuk menjadi seorang oportunis (unabashed opportunism), seringkali dengan mengorbankan nilai, sekutu, dan perjanjian (values, alliances, and even treaties)," kata Suzie dihubungi Media Indonesia, Minggu (2/3).
Untuk Trump, seorang yang pernah menjadi penulis pendamping buku The Art of the Deal di tahun 1987, lanjut Suzie setiap transaksi itu bersifat zero-sum, dengan pemenangnya atau yang kalah pun jelas terlihat.
"Trump selalu ingin tampak sebagai pemenang sekalipun dia tidak menang," sebutnya.
Dia menambahkan banyak yang melihat sifat telanjang dari proses transaksi itu sebagai hal yang akan menakutkan pemangku kepentingan global lainnya.
Namun realitas cukup kompleks, negara-negara yang menghendaki kondisi dunia tetap dalam sistem Internasional yang setara dan berdasarkan aturan hukum telah menyaksikan bahwa Washington selalu menolak untuk berbagi kekuasaan, baik di PBB, Bank Dunia dan IMF.
"Jadi jelas bagi negara-negara yang tergantung pada bantuan AS sebagai sekutu pasti siap beradaptasi akan diplomasi transaksional ini," ucapnya.
Sistem baru ini memiliki hirarki yang baru yakni Amerika itu nomor satu. Kemudian ada negara-negara yang memiliki sumber daya yang bisa dijual, bisa mengancam dan pemimpinnya tidak dibatasi oleh sistem demokrasi (countries with resources to sell, threats to make and leaders unconstrained by democracy).
Antara lain Vladimir Putin yang ingin memulihkan Rusia sebagai negara Imperial yang besar. Raja Muhammad bin Salman yang menginginkan terwujudnya modernitas di Timur Tengah dan melindungi diri dari serangan Iran.
Lalu Xi Jinping adalah seorang yang berkomitmen pada komunisme dan seorang nasionalis yang ingin membangun dunia yang bisa mengakui Tiongko sebagai negara yang kuat.
Dalam urutan ketiga ada sekutu-sekutu AS. Di mana mereka memiliki ketergantungan dan kesetiaan yang bisa dieksploitasi.
"Trump yakin bahwa AS bisa meninggalkan sebagian atau secara menyeluruh sekutu-sekutunya di Eropa dan mungkin juga di Asia," tegasnya.
Namun, AS tetap akan tergantung pada Pangkalan Udara AS di Ramstein, Jerman dan Pine Gap signals station di Australia dan pengamatan rudal (missile-tracking) di kawasan Artic Canada.
"Bilamana Presiden Trump mengabaikan kebutuhan ini, AS pasti akan tidak lagi memiliki akses pada elemen pertahanan yang sangat penting tersebut," pungkasnya.
Diketahui, Presiden AS Donald Trump menilai Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah bertindak berlebihan, menyusul pertemuan kedua pemimpin yang tidak berjalan baik di Gedung Putih.
Berbicara kepada wartawan sebelum berangkat ke Florida, Jumat (28/2), Trump menegaskan kembali bahwa ia menginginkan perdamaian dalam perang antara Rusia dan Ukraina.
Pernyataan itu disampaikan setelah perdebatan sengit antara dirinya, Zelensky, dan Wakil Presiden JD Vance di Ruang Oval Gedung Putih.
Alih-alih melanjutkan perang, Trump mendesak Zelensky untuk segera melakukan gencatan senjata. Zelensky meninggalkan Gedung Putih setelah pertengkaran publik tersebut.
Upacara penandatanganan kesepakatan mineral penting dan konferensi pers bersama yang direncanakan sebelumnya akhirnya dibatalkan. (Fer/I-1)