
UJARAN kebencian atau hate speech tak bisa dianggap biasa saja, terlebih lagi jika melibatkan aktor politik yang jejaknya bisa menimbulkan kekerasan dan konflik hingga menelan korban jiwa. Secara jangka panjang, ujaran kebencian juga berpotensi merusak tatanan sosial-politik negara dan memecah belah persatuan bangsa.
Direktur pendidikan Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP) Center, Universitas Queensland Australia, Kirril Shields menjelaskan ujaran kebencian dapat digolongkan kepada tiga tingkatan yang memiliki penafsiran berbeda. Untuk tingkatan kedua dan ketiga masih tergolong aman, sementara tingkatan pertama perlu dilarang karena berpotensi menimbulkan kekerasan.
Pada kasus ekstrem, berbagai ujaran kebencian dapat berujung pada aksi genosida atau pembunuhan massal yang disengaja dan sistematis terhadap suatu kelompok. Penjelasan itu disampaikan Kirril dalam acara pelatihan pencegahan ujaran kebencian, disinformasi, dan kekerasan yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerja sama dengan APPAP pada Kamis hingga Jumat (27-28 Februari) di Bandung, Jawa Barat.
Pada pelatihan yang diikuti oleh unsur kelompok masyarakat sipil dan media itu, Kirril menuturkan bahwa tidak semua ujaran kebencian layak diproses hukum. Hanya ujaran kebencian yang bereskalasi menjadi kekerasan massal atau konflik yang perlu dijerat. Sebab, beberapa bentuk ekspresi ujaran kebencian mungkin tidak memiliki niat jahat.
“Mayoritas dari ujaran kebencian yang sifatnya tidak menimbulkan eskalasi kekerasan itu termasuk pada kebebasan berpendapat, itu tidak dilarang. Tetapi pada tingkatan paling tinggi dimana ujaran kebencian dengan sengaja dan intens dilakukan lalu bereskalasi pada kekerasan kelompok tertentu, itu yang dilarang dan harus diatur secara hukum nasional dan internasional,” jelas Kirril.
Kirril menjelaskan bahwa suatu kalimat yang mengandung ujaran kebencian biasanya akan memiliki dampak konflik yang lebih luas apabila diucapkan oleh aktor politik atau pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kemampuan mobilisasi kelompok tertentu. Hal itu bisa dilihat pada beberapa kasus ujaran kebencian yang dikapitalisasi pada momen pemilu dan pilkada.
“Harus ditelaah dulu siapa orang yang mengucapkan, apakah memiliki posisi kekuasaan atau otoritas untuk mempengaruhi orang banyak? Lalu platform dimana ujaran kebencian itu dikatakan apakah di ruang privat atau ruang publik seperti media sosial? Jika di ruang privat, tidak bisa diartikan sebagai ujaran kebencian, tetapi akan jadi delik ujaran kebencian ketika diungkapkan lewat kanal publik seperti media sosial,” jelasnya.
Akan tetapi, studi dari para ahli menunjukkan bahwa efektivitas dari ujaran kebencian sejauh ini hanya berlaku selama tiga bulan. Artinya, kata Kirril, jika sebuah kalimat ujaran kebencian tidak memiliki dampak dalam periode tersebut, hal itu tidak bisa dijerat hukum.
“Dikatakan ujaran kebencian jika tidak lewat dari tiga bulan, jadi kalau saya menurutkan ujaran kebencian lalu dalam jangka waktu tiga bulan itu tidak terjadi kekerasan, maka tidak bisa diregulasi. Tentu ini menjadi masalah karena ujaran kebencian walaupun kecil tapi eskalasi dampaknya ada yang baru terlihat 2-5 tahun setelahnya,” kata Kirril.
Kapasitas APH menjadi kendala
Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan berbagai kasus ujaran kebencian yang berujung pada tindak kekerasan kerap bermula dari stigmatisasi dan labelisasi pada kelompok minoritas hingga menjadi eskalasi konflik yang tajam karena dikapitalisasi oleh aktor-aktor politik.
Hal ini akan semakin diperparah karena penanganan ujaran kebencian yang melibatkan aktor politik kerap kali terlihat bias. Ia menjelaskan pihak aparat penegak hukum (APH) kurang memiliki perspektif yang komprehensif dalam mainstreaming ujaran kebencian.
“Penegakan hukum tidak berjalan sehingga orang yang melakukan provokasi ujaran kebencian itu tidak ditindak. Justru pada kasus ujaran kebencian yang terjadi pada kelompok minoritas seperti syiah dan ahmadiyah, APH kerap kali meng-institusionalisasi ujaran kebencian itu dengan pelabelan fatwa organisasi keagamaan,” katanya.
Menurut Halili, APH dalam menangani kasus ujaran kebencian, seharusnya berada dalam ruang criminal justice system” yang mengacu pada hukum pidana, bukan justru mengacu pada fatwa organisasi keagamaan seperti MUI.
“Tidak ada satupun regulasi di Indonesia yang mengatakan bahwa fatwa MUI adalah dasar hukum, bahwa hukum tertinggi adalah UUD dan hukum terendah adalah peraturan daerah, tidak ada fatwa MUI. Kalau masyarakat mengikuti dan mengacu pada fatwa silahkan saja, tapi ketika APH dan pemerintah mengacu pada fatwa itu justru berpotensi mengkriminalisasi,” jelasnya.
Halili menjelaskan, lembaga-lembaga negara seperti Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) yang menginduk pada Kejaksaan Agung, turut memperburuk penegakan hukum terhadap kasus ujaran kebencian, sehingga korban yang merupakan kelompok minoritas semakin dikriminalisasi dan terhimpit.
“Di negara lain, Kejaksaan Agung tidak diberi tugas untuk mengawasi keyakinan masyarakat, tetapi di Indonesia itu muncul di tingkat nasional dan daerah. Rujukan Bakorpakem adalah fatwa MUI, dia memformalisasi fatwa MUI yang bukan hukum, tapi hal itu keluar dari Kejaksaan sebuah lembaga hukum. Ini tentu problematik,” tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Tiasri Wiandani mengatakan bahwa APH harus mampu memetakan potensi dan dampak dari ujaran kebencian, sehingga dapat meminimalisir adanya konflik dan kerusakan di masyarakat
“APH tidak boleh menyepelekan dampak dari hate speech, potensinya ini yang perlu menjadi pemahaman bagi APH agar ketika sudah ada aduan di awal, harus mulai ada respon untuk memetakan ini potensi potensi konfliknya seperti apa, siapa saja yang terlibat, kepentingan apa dan tujuannya apa, sehingga ujaran kebencian yang terjadi itu tidak meningkat,” imbuhnya.
Tiasri juga menekankan bahwa desain regulasi ujaran kebencian jangan hanya berfokus pada pencegahan dan penanganan tetapi harus menjamin pemulihan korban.
“Kemudian pemulihan, untuk para korban dari hate speech ini, sejauh mana akses korban ini diberikan haknya oleh negara. Misalnya dalam kasus kelompok syiah di Sampang, negara harus memastikan kehadiran mereka dalam beragama tidak boleh lagi dilarangan, jadi pemenuhan hak korban itu harus dijamin dan diberikan,” katanya.
Peneliti Politik dan Terorisme dari RSIS Singapore, Alif Satria mengatakan ujaran kebencian yang berujung pada tindak kekerasan memiliki pola yang sama. Dijelaskan pada fase pertama terjadi pemilu (trigger) dari pelaku ujaran kebencian yang menyebarkan narasi negatif terhadap kegiatan kelompok minoritas.
“Pada umumnya di fase ini, kasus hate speech itu sangat lokal, belum masuk social media dan media mainstream. Pihak yang mengkapitalisasi dan bermain dalam hate speech meliputi tokoh-tokoh lokal seperti kepala desa, tokoh agama setempat dengan ujaran yang mengandung makna ancaman pada kelompok minoritas,” katanya.
Pada tahap selanjut yakni eskalasi, Alif menjelaskan bahwa ujaran kebencian sudah mulai bergerak dan melibatkan politisi dan pemangku kepentingan baik di tingkat lokal maupun nasional. Hal ini kata Alif, kerap terjadi pada momen Pilkada dan Pemilu, di mana ujaran kebencian yang awalnya bersifat sporadis, justru diorganisir.
“Kehadiran aktor politik dan terpolitisasinya ujianan kebencian. Pada saat sudah ada politisi yang mengkapitalisasi isu tersebut dan mendukung, itu akan menjadi eskalasi konflik yang semakin besar,” katanya.
Sementara itu, Kirril kembali mengatakan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, standar dan batas-batas ujaran kebencian cenderung semakin rendah. Artinya, letupan ujaran kebencian kecil bisa berujung konflik dan terjadi kapan pun, sehingga perlu pencegahan dengan edukasi dan sosialisasi serta penguatan masyarakat sipil mengenai ujaran kebencian agar dapat meminimalisir dampaknya.
“Sebenarnya, ujaran kebencian di tingkat paling rendah bisa ditekan dengan menjadi warga negara yang baik lewat pendidikan di sekolah, pendidikan agama. Tingkat lebih tinggi dicegah dengan menjadi warga dunia yang baik. Simpel, tapi sulit untuk diwujudkan,” pungkasnya. (Dev/P-3)