
DI tengah gelombang kasus korupsi yang terus menghantui Indonesia, kita seolah kehilangan arah dalam memahami akar persoalan. Korupsi bukan hanya soal hukum yang dilanggar, tetapi soal nilai yang ditinggalkan. Dalam konteks budaya Manggarai, konsep toing, toming, titong agu tatong menawarkan lensa etis yang dalam untuk membaca krisis integritas bangsa.
Makna Filosofis dari Toing, Toming, Titong, agu Tatong
Toing artinya memberi nasihat. Tindakan menasihati atau memberi petunjuk secara verbal. Dalam budaya Manggarai, toing adalah bentuk kepedulian dan kasih terhadap sesama. Orang tua, kakak, atau tokoh adat memberi nasihat sebagai wujud perhatian dan tanggung jawab moral terhadap orang lain. Toing bukan sekadar bicara, tetapi menyampaikan nilai kehidupan agar orang lain menjadi bisa bertransformasi untuk menjadi lebih baik.
Toming berarti menjadi teladan atau meniru yang baik. Toming merujuk pada tindakan memberi contoh atau menjadi panutan. Dalam proses pendidikan, toming berarti mengajar dengan keteladanan. Anak-anak belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari perilaku nyata orang dewasa. Toming menekankan pentingnya konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Titong dapat diartikan dengan aktivitas menuntun atau mengarahkan. Titong adalah tindakan mengarahkan seseorang menuju kebaikan. Berbeda dari toing yang bersifat verbal, titong melibatkan relasi aktif antara yang menuntun dan yang dituntun. Dalam tradisi Manggarai, titong juga memiliki dimensi spiritual: Allah (Mori Kraeng) disebut sebagai Penuntun hidup manusia. Maka, titong adalah tindakan luhur yang mencerminkan kasih dan tanggung jawab.
Tatong artinya bersama-sama menuntun. Kata “agu” berarti “dan”, sedangkan “tatong” adalah bentuk lain dari “titong”, yang berarti menuntun. Ungkapan “agu tatong” sering digunakan untuk menekankan kebersamaan dalam proses mendidik dan membimbing. Ia mencerminkan semangat kolektif dalam membentuk karakter dan nilai kemanusiaan.
Keempat kata ini bukan hanya istilah, tetapi mencerminkan filsafat hidup orang Manggarai: bahwa manusia tumbuh dalam relasi, saling memelihara, menasihati, menuntun, dan memberi teladan. Nilai-nilai ini sangat relevan untuk pendidikan karakter dan gerakan sosial, termasuk dalam konteks pemberantasan korupsi dan krisis integritas.
Konsep Toing, Toming, Titong, agu Tatong dan Ikhtiar Melawan Korupsi
Konsep toing, toming, titong, agu tatong bukan sekadar warisan tutur adat, melainkan cermin kebijaksanaan etis yang mengakar dalam budaya Manggarai. Ia mengajarkan bahwa integritas bukan hanya soal tahu, tetapi soal keberanian dan keteguhan hati. Toing mengajak kita untuk sadar dan memahami realitas secara jernih. Toming menuntun kita membedakan mana yang benar dan mana yang menyesatkan. Titong mendorong kita untuk berani bertindak sesuai kebenaran, meski penuh risiko. Dan tatong adalah panggilan untuk tetap teguh dalam kejujuran, meski godaan datang bertubi-tubi.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh kompromi, keempat nilai ini menjadi kompas moral yang tak lekang oleh zaman. Ia bukan hanya relevan untuk masyarakat adat, tetapi juga untuk pejabat publik, pendidik, pemimpin agama, dan setiap warga negara. Ketika kita hidup dengan toing, toming, titong, dan tatong, maka kita sedang membangun bangsa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermartabat.
Keempatnya membentuk satu kesatuan etika yang menuntut manusia untuk tidak hanya tahu, tetapi juga bertindak dan bertahan dalam nilai. Dalam konteks korupsi, banyak pejabat tahu bahwa korupsi itu salah (toing), bahkan bisa membedakan mana yang benar dan salah (toming), tetapi tidak berani bertindak jujur (titong), dan apalagi konsisten dalam integritas (tatong).
Korupsi: Ketika Toing Tak Berujung Tatong
Kasus-kasus besar seperti skandal Pertamina, PT Timah, dan kredit fiktif di lembaga keuangan menunjukkan bahwa korupsi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena keberanian moral yang hilang. Para pelaku tahu mereka merugikan negara, tahu mereka melanggar hukum, tetapi tetap melakukannya. Di sinilah titong dan tatong gagal hadir.
Kita hidup dalam masyarakat yang tahu banyak hal, tetapi tidak cukup berani untuk hidup dalam kebenaran. Pendidikan formal mengajarkan etika, agama mengajarkan moral, tetapi keduanya belum cukup membentuk karakter yang utuh. Maka, korupsi terus terjadi, bukan karena kita bodoh, tetapi karena kita lemah secara moral.
Menghidupkan Kembali Etika Lokal dalam Gerakan Antikorupsi
Konsep toing, toming, titong agu tatong bisa menjadi fondasi gerakan antikorupsi yang berbasis budaya dan spiritualitas. Ia mengajarkan bahwa integritas bukan hanya soal aturan, tetapi soal keberanian untuk hidup benar, meski tidak populer. Dalam masyarakat Manggarai, nilai ini diajarkan sejak kecil melalui cerita, ritual, dan relasi sosial.
Bayangkan jika nilai ini diintegrasikan dalam pendidikan karakter, khotbah agama, dan kebijakan publik. Kita tidak hanya membentuk manusia yang tahu hukum, tetapi manusia yang berani hidup dalam kebenaran. Korupsi akan menjadi aib, bukan sekadar pelanggaran.
Dari Kearifan Lokal Menuju Gerakan Nasional
Indonesia tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan keberanian moral. Kita tidak kekurangan lembaga, tetapi kekurangan keteladanan. Maka, gerakan antikorupsi harus dimulai dari akar: dari nurani, dari budaya, dari spiritualitas.
Konsep toing, toming, titong, agu tatong adalah warisan etis yang bisa menjadi cahaya dalam gelapnya praktik korupsi. Ia mengingatkan kita bahwa tahu saja tidak cukup. Kita harus berani, dan kita harus konsisten. Karena hanya dengan itu, bangsa ini bisa benar-benar merdeka dari korupsi.