Tuntutan Rakyat vs Kegagapan Negara: Represivitas di Ujung Demokrasi

3 hours ago 1
 Represivitas di Ujung Demokrasi Revo Linggar Vandito, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta(DOK PRIBADI)

DEMONSTRASI di Indonesia pada dasarnya merupakan sarana masyarakat menyuarakan harapan, kritik, dan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Terutama yang menekan ekonomi kelas menengah ke bawah atau membatasi kebebasan sipil. 
Dalam lima tahun terakhir, aksi besar seperti Reformasi Dikorupsi, Omnibus Law, Indonesia Darurat, hingga demonstrasi terbaru mencerminkan rasa frustrasi publik atas legislasi elitis dan kebijakan yang merugikan. Namun, protes-protes ini justru kerap dijawab dengan represifitas aparat yang bertentangan dengan prinsip kebebasan sipil, fenomena yang berulang sejak pasca-1998, termasuk dalam demonstrasi menolak penaikan harga BBM pada 2005, 2008, 2012, dan 2022.

POTENSI MENUJU COMPETITIVE AUTHORITARIANISM

Gerakan perlawanan sipil di Indonesia kerap direspons secara berlebihan dengan represivitas aparat. Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan menambah catatan kelam. Per 2 September 2025 tercatat tujuh warga sipil tewas dalam demonstrasi 28 Agustus–2 September.
Aksi tersebut mencerminkan akumulasi frustrasi publik atas kebijakan yang tak sesuai realitas grassroots dan kondisi ekonomi yang makin tertekan. Pola represi yang dilakukan otoritas keamanan pada setiap demonstrasi yang terjadi merupakan bentuk dari gambaran kapasitas negara demokrasi yang cenderung lemah. Hal ini terjadi karena negara demokrasi dengan state capacity yang kuat dan stabil mampu menciptakan jawaban atas protes yang disampaikan melalui kebijakan yang sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat, sebab itulah esensi dari sebuah negara demokrasi. 
Namun penggunaan represi yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia berpotensi mendorong Indonesia pada apa yang disebutkan oleh (Levitsky & Way, 2010) sebagai sebuah authoritarian resilience. Itu merujuk pada kondisi ketika demokrasi tetap ada secara formal, tetapi substansi dan praktiknya dilemahkan melalui dominasi institusi koersif.  Indonesia pernah mengalaminya pada era Orde Baru, ketika ruang sipil dimiliterisasi atas nama stabilitas.

17 + 8 TUNTUTAN RAKYAT 

Tuntutan masyarakat pascademonstrasi dapat dibaca sebagai koreksi atas ketimpangan dimensi kapasitas negara di Indonesia. Menurut Hendrix (2009), kapasitas negara mencakup tiga dimensi pokok: militer/represif, administratif/birokratis, dan ekstraktif/fiskal. Sejak Orde Baru, negara Indonesia relatif menonjol pada dimensi pertama sebagai repressive capacity tetapi lemah pada dua dimensi lainnya. Dominasi kekuatan koersif tanpa diimbangi administrasi yang responsif dan fiskal yang adil menghasilkan negara yang tampak kuat, namun rapuh (fragile leviathan).

1. Dimensi Militer/Represif

Tuntutan untuk membuka transparansi aparat hingga tuntutan untuk menghentikan represivitas hingga kriminalisasi demonstran dan membentuk tim investigasi independen untuk menyelesaikan berbagai tindakan kriminalisasi dan represivitas demonstran menyoroti kegagalan negara dalam menggunakan kekuatan koersif secara proporsional. Kapasitas aparat seharusnya menopang stabilitas institusional, tetapi dalam praktiknya justru menciptakan ketidakpercayaan publik. Dalam berbagai demonstrasi, negara gagal mengonversi monopoli kekerasan menjadi legitimasi politik. Hal tersebut diperburuk dengan rendahnya kepercayaan publik terhadap polisi yang termasuk ke dalam 5 institusi dengan kepercayaan publik terendah di Indonesia

2. Dimensi Administratif/Birokratis

Dorongan publik terhadap DPR untuk mempublikasikan anggaran, membekukan tunjangan DPR yang terlalu tinggi di tengah sulitnya ekonomi, memperketat standar etik anggota, serta mengembalikan fungsi pengawasan parpol, jelas merupakan agenda peningkatan kapasitas administratif. Kapasitas administratif menuntut birokrasi dan lembaga legislatif beroperasi dalam kerangka rational-legal authority (Weber). Namun, DPR yang sarat privilese dan lemahnya mekanisme pertanggungjawaban justru memperlihatkan low bureaucratic capacity.
Tuntutan ini ingin menggeser logika representasi dari sekadar distribusi rente politik menuju mekanisme berbasis aturan dan transparansi. Dengan kata lain, publik tidak hanya menolak korupsi, melainkan menuntut state capacity dalam bentuk efektivitas tata kelola dalam lembaga legislatif yang eksis.

3. Dimensi Ekstraktif/Fiskal

Agenda upah layak, pencegahan PHK massal, dan reformasi perpajakan menyentuh akar persoalan kapasitas fiskal. Hendrix menekankan tax-to GDP ratio sebagai indikator utama kapasitas negara. Kelemahan Indonesia dalam memobilisasi penerimaan pajak dan ketergantungan pada sumber daya alam membuat kapasitas fiskal timpang. 
Hal itu terlihat ketika pemerintah lebih gesit menaikkan pajak konsumsi ketimbang menyita aset koruptor. Negara kehilangan fungsi redistributifnya. Tuntutan publik menandai dorongan untuk memperkuat ekstraksi fiskal yang adil agar negara tidak hanya kuat menindas, tapi juga kuat menyejahterakan.

PENUTUP

Pascademonstrasi besar Agustus 2025, Indonesia perlu segera berbenah secara kelembagaan dengan mengembalikan semangat demokratisasi, memperkuat tata kelola pemerintahan yang substantif, serta memastikan partai politik kembali berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat. Reformasi aparat keamanan juga mendesak, karena tanpa perubahan struktural, demokratisasi akan terhambat oleh praktik represif yang berlebihan. Jika hal ini diabaikan, Indonesia berisiko semakin tenggelam dalam tipologi competitive authoritarianism, yang tak hanya menurunkan indeks demokrasi tetapi juga menciptakan ketidakpastian ekonomi, melemahkan kepercayaan investor, dan menekan daya beli masyarakat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |