Tunjangan Rumah DPRD Kota dan Kabupaten Dinilai tak Pantas dan harus Dihapus

3 hours ago 5
Tunjangan Rumah DPRD Kota dan Kabupaten Dinilai tak Pantas dan harus Dihapus Ilustrasi.t(MI)

GELOMBANG kritik terhadap tunjangan rumah DPRD kota dan kabupaten semakin kuat. Publik menilai fasilitas ini tidak masuk akal, memboroskan anggaran daerah, dan hanya menegaskan kesan bahwa para wakil rakyat lebih mementingkan kenyamanan pribadi dibanding kepentingan publik.

Aktivis mahasiswa Asmudyanto menegaskan, tunjangan rumah hanya wajar bagi anggota DPR RI atau DPRD provinsi yang lingkup kerjanya luas dan menuntut mobilitas lintas daerah. Namun untuk DPRD kabupaten/kota, alasan tersebut dinilai sama sekali tidak relevan. “Mereka bekerja di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Jadi, untuk apa lagi diberi tunjangan rumah puluhan juta rupiah setiap bulan?” ujarnya, dalam keterangan resmi, Jakarta, Kamis (4/9).

Menurut Asmudyanto, logika dasar tunjangan rumah adalah membantu pejabat yang harus tinggal jauh dari domisili asal karena tuntutan tugas. Tetapi anggota DPRD kabupaten/kota jelas tidak menghadapi kondisi itu. “Mereka sudah memiliki rumah di daerah masing-masing. Maka, pemberian tunjangan hanyalah pemborosan yang dilegalkan atas nama regulasi,” tegasnya.

Besarnya dana yang dihabiskan juga mencengangkan. Satu anggota DPRD bisa mengantongi puluhan juta rupiah tiap bulan hanya untuk tunjangan rumah. Jika dikalikan jumlah anggota dan setahun penuh, nilainya mencapai miliaran rupiah. Dana sebesar itu, menurut Asmudyanto, seharusnya dialihkan untuk subsidi pendidikan, layanan kesehatan, bantuan sosial, atau pembangunan infrastruktur dasar yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.

“Ini uang rakyat, bukan dana pribadi dewan. Menggunakannya untuk kenyamanan pribadi jelas bentuk penyalahgunaan yang dilegalkan,” katanya.

Ia mengingatkan, rakyat masih banyak yang tidak mampu membeli rumah, bahkan sekadar membayar kontrakan bulanan. Sementara dewan justru dimanjakan dengan fasilitas hunian mewah yang ditanggung APBD. Asmudyanto menilai, kondisi tersebut memperlebar jurang ketidakadilan sosial. “Seolah-olah tanpa tunjangan rumah mereka tidak bisa bekerja, padahal faktanya mereka tinggal di rumahnya sendiri,” sindirnya.

Lebih jauh, ia menilai pemberian tunjangan rumah DPRD kabupaten/kota melanggar prinsip dasar pengelolaan keuangan negara: efisien, efektif, dan memberi manfaat publik. "Tidak ada urgensi, tidak ada kepatutan, dan tidak ada manfaat yang bisa dirasakan masyarakat. Justru praktik ini semakin merusak citra DPRD yang sudah lama dinilai jauh dari rakyat,” katanya.

Gerakan mahasiswa, lanjut Asmudyanto, menegaskan DPRD kabupaten/kota harus memberi teladan hidup sederhana. Menolak tunjangan rumah dianggap sebagai langkah moral untuk mengembalikan kepercayaan publik. "Wakil rakyat seharusnya menjadi contoh kesederhanaan, bukan simbol kemewahan,” ujarnya.

Ia juga mendesak pemerintah pusat segera merevisi regulasi yang selama ini menjadi dasar pemberian tunjangan rumah. Aturan seragam yang diterapkan pada semua tingkatan dewan dianggap tidak adil. Kondisi DPRD kabupaten/kota jelas berbeda dengan DPRD provinsi maupun DPR RI. “Kalau tidak segera diubah, pemborosan akan terus berulang setiap tahun,” tegasnya.

Pada akhirnya, kata Asmudyanto, penghapusan permanen tunjangan rumah DPRD kabupaten/kota merupakan langkah tepat untuk memperbaiki tata kelola keuangan daerah. “Rakyat tidak butuh dewan dengan fasilitas berlebihan. Rakyat butuh dewan yang peduli, sederhana, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan bersama,” pungkasnya. (Cah/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |