Presiden AS Donald Trump(instagram/@realdonaldtrump)
PARA pemimpin kawasan Asia dan Pasifik menegaskan komitmen memperkuat perdagangan dan investasi saat penutup pertemuan puncak APEC yang diwarnai kesepakatan gencatan perang dagang antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Deklarasi bersama itu diumumkan pada Sabtu (1/11), usai Trump dan Xi mencapai kesepahaman untuk menurunkan tensi rivalitas antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia dalam pertemuan bilateral di sela-sela KTT.
Trump meninggalkan Korea Selatan pada Kamis setelah bertatap muka dengan Xi untuk pertama kalinya sejak 2019. Seusai kepergiannya, Xi mengambil peran utama dalam forum ekonomi yang berlangsung selama dua hari tersebut.
Dalam pidato pembukaan pada Jumat, Xi menegaskan posisi Tiongkok sebagai pendukung multilateralisme dan perdagangan bebas. Ia mengingatkan perlunya kerja sama antarnegara menghadapi situasi global yang “semakin kompleks dan bergejolak”.
Dalam deklarasinya, para pemimpin APEC menekankan pentingnya perdagangan dan investasi yang “kuat” bagi pertumbuhan kawasan, serta menegaskan komitmen untuk “memperdalam kerja sama ekonomi guna menavigasi dinamika global yang terus berkembang”.
APEC, yang beranggotakan 21 negara termasuk AS, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, juga sepakat memperkuat integrasi ekonomi berbasis pasar, meningkatkan “berbagi pengalaman, peningkatan kapasitas, dan keterlibatan dunia usaha”.
Para pemimpin turut berkomitmen memperdalam kerja sama di bidang kecerdasan buatan (AI) dan mengatasi tantangan demografi akibat menurunnya angka kelahiran.
Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung, selaku tuan rumah KTT, sebelumnya mengingatkan bahwa ekonomi dunia sedang menghadapi ketidakpastian yang meningkat.
“Sistem perdagangan bebas sedang mengalami gejolak hebat, ketidakpastian ekonomi global semakin dalam, dan momentum perdagangan serta investasi melemah,” ujar Lee dikutip dari Al Jazeera.
Konsensus yang Rapuh
Pernyataan akhir para pemimpin APEC pada Sabtu tidak menyebut secara eksplisit istilah multilateralisme maupun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini mencerminkan rapuhnya kesepahaman global atas perdagangan bebas di tengah meningkatnya populisme di berbagai negara.
Kepala Kebijakan Perdagangan Hinrich Foundation di Singapura, Deborah Elms, menyebut capaian tersebut sebagai “keajaiban”.
“Melihat posisi tegas beberapa ekonomi APEC, menyepakati satu dokumen saja adalah latihan yang penuh ketegangan,” kata Elms. “Biasanya, semua sudah rampung jauh hari sebelumnya. Kali ini, negosiasi berlangsung hingga menit terakhir saat para pejabat terus menukar redaksi untuk menemukan kompromi yang bisa diterima.”
Sehari sebelumnya, Xi juga mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Jepang, Kanada, dan Thailand. Pada Sabtu, ia kemudian melakukan pertemuan bilateral dengan Lee, yang menjadi pertemuan pertama mereka sejak Lee terpilih dalam pemilu kilat pada Juni lalu.
Dalam sambutan pembuka, Lee menyampaikan harapan agar Korea Selatan dan Tiongkok dapat memperkuat komunikasi strategis guna melanjutkan dialog dengan Korea Utara yang bersenjata nuklir. “Pentingnya perdamaian dan stabilitas di kawasan tidak bisa dilebih-lebihkan,” ujar Lee.
Ia juga menyerukan agar kedua negara memperdalam kerja sama untuk mencapai “kemakmuran bersama”, dengan beralih dari hubungan ekonomi “vertikal” menjadi hubungan yang “horizontal dan saling menguntungkan”.
Xi menanggapi dengan menyebut Tiongkok dan Korea Selatan sebagai “tetangga penting yang tidak dapat dipisahkan” serta “mitra kerja sama yang tidak terpisahkan”. Ia menyerukan agar kedua pihak mengelola perbedaan melalui “konsultasi yang bersahabat”.
Lee berjanji akan menempuh kebijakan luar negeri yang lebih seimbang terhadap Tiongkok dibanding pendahulunya, Yoon Suk Yeol, yang dimakzulkan tahun lalu setelah sempat menyatakan darurat militer.
Seperti negara lain di kawasan, Korea Selatan berupaya menjaga keseimbangan antara AS sebagai penjamin keamanan dan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar. AS menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korea Selatan dan terikat perjanjian pertahanan bila negara itu diserang, warisan dari Perang Korea 1950–1953.
Pada 2024, sekitar seperlima ekspor Korea Selatan dikirim ke Tiongkok dengan nilai mencapai 133 miliar dolar AS, sementara ekspor ke AS mencapai 127,8 miliar dolar AS.
Hubungan Seoul dan Beijing beberapa tahun terakhir sempat terganggu oleh berbagai isu, termasuk kontroversi pemasangan sistem pertahanan rudal THAAD buatan AS pada 2017.
Direktur Urusan Regional Pacific Forum di Hawaii, Rob York, menilai Lee berusaha menjaga stabilitas dalam hubungan internasional Korea Selatan.
“Lee ingin hubungan paling vital negaranya tetap stabil, artinya menurunkan ketegangan dengan Tiongkok, mencegah penurunan tajam dalam hubungan dengan AS, dan memanfaatkan hasil diplomatik yang telah dibangun pendahulunya dengan Jepang,” ujar York.
“Untuk saat ini, itu berarti bersikap ramah terhadap Ketua Xi dan Presiden Trump, sambil diam-diam mengambil langkah untuk mengurangi ketergantungan pada AS di bidang keamanan serta menghadapi operasi perang hibrida Republik Rakyat Tiongkok di Korea Selatan terkait isu maritim dan pencurian teknologi,” kata York.
“Ia tampak serius menangani hal-hal itu, tetapi akan melakukannya secara hati-hati, tidak banyak yang bisa diperoleh jika isu-isu tersebut meledak di ruang publik.” (H-4)


















































