Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi(MI/Usman Iskandar)
PAKAR Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai meningkatnya partisipasi anak muda dalam ruang politik dan hukum, termasuk melalui jalur Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan bentuk perlawanan terhadap kinerja kekuasaan yang dinilai buruk dalam beberapa tahun terakhir.
“Anak muda Indonesia sedang kecewa, gelisah, dan muak dengan performa kekuasaan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang sangat buruk dari tahun 2019 hingga 2025 ini,” kata Ubedilah saat dikonfirmasi, Rabu (29/10).
Menurutnya, kekecewaan itu tidak lagi berhenti di ruang ekspresi digital, tetapi menjelma menjadi gerakan yang terorganisasi melalui berbagai jalur. “Mereka mengekspresikan kekecewaan itu lewat tiga jalur utama: jalan riset, jalan hukum, dan jalan demonstrasi,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sejak 2019 tren tersebut terus meningkat seiring munculnya berbagai gerakan sosial anak muda.
“Kita bisa melihat sejak 2019, mereka menggunakan tagar seperti #ReformasiDikorupsi, kemudian #KamiMuak, #IndonesiaDarurat, #IndonesiaGelap, hingga #Adilijokowi dan seterusnya sampai hari ini,” ucapnya.
Selain turun ke jalan, Ubedilah menilai lebih banyak anak muda yang kini memanfaatkan jalur akademik dan konstitusional untuk menyuarakan kritik kepada pemerintah.
“Menariknya, jalur riset dan kajian literatur juga mereka tempuh. Hasil kajian itu mereka bawa ke parlemen melalui dialog dengan DPR dan pemerintah. Bahkan, mereka kini aktif menggunakan jalur hukum ke MK untuk melakukan judicial review terhadap sejumlah undang-undang,” ungkapnya.
Namun, ia mengingatkan bila jalur konstitusional dan dialog tidak direspons oleh pemerintah, maka aksi di jalan akan kembali menjadi pilihan. Fenomena ini, lanjutnya, merupakan gejala baru kebangkitan perlawanan dan kesadaran politik generasi muda.
“Trennya, jika semua jalan normal riset, diskusi, dialog, dan judicial review menemui jalan buntu, mereka tak segan-segan memilih jalan demonstrasi, bahkan demonstrasi yang keras,” tutur Ubedilah.
Selain itu, Ubedilah menegaskan gelombang kritik dari mahasiswa merupakan upaya korektif terhadap arah politik dan hukum di Indonesia yang tidak berpihak pada masa depan mereka dan kepentingan rakyat banyak.
Ubedilah pun menilai elite politik masih minim dalam mendengarkan aspirasi mahasiswa generasi Z. Ia juga mengingatkan, jika aspirasi anak muda terus diabaikan, maka jalan demonstrasi akan menjadi pilihan dominan.
“Tidak semua aspirasi mereka didengar. Parlemen dan eksekutif minim sekali mendengarkan aspirasi anak muda, kecuali isu yang memberikan insentif politik bagi elite, seperti soal usia capres-cawapres atau undang-undang pilkada,” tukasnya.
Menurut Ubed, kekuatan generasi muda khususnya Generasi Z dan milenial, akan menjadi faktor penentu dalam arah politik Indonesia ke depan. Ia memaparkan secara demografis, Generasi Z kini mendominasi populasi Indonesia jumlahnya mencapai 27%, sementara generasi milenial sebanyak 25%, kalau dijumlah populasinya lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia.
Ubed menilai komposisi ini sangat signifikan yang menunjukkan bahwa setengah lebih pemilih potensial Indonesia berasal dari kalangan muda. Namun, ia mengingatkan jika aspirasi anak muda terus diabaikan oleh elite politik, maka risiko meningkatnya gelombang protes tak bisa dihindari.
“Ini sangat signifikan dan akan menentukan masa depan politik Indonesia. Jika aspirasi mereka tidak didengar, potensi memilih jalan demonstrasi akan semakin kuat,” pungkasnya. (M-2)


















































