
TRANSPARANSI sektor pertahanan Indonesia dinilai terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini disampaikan Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Curie Maharani, dalam peluncuran jurnal Prisma bersama LAB 45 edisi khusus Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi, Selasa (16/9).
Menurut Curie, salah satu indikator utama menurunnya keterbukaan informasi adalah terhentinya penerbitan 'buku putih' pertahanan sejak 2015. Padahal, dokumen tersebut berfungsi sebagai rumusan kebijakan pertahanan komprehensif yang menjadi pedoman strategi dan penyelenggaraan pertahanan negara.
“Padahal dokumen ini berperan penting sebagai media komunikasi penilaian ancaman, strategi pertahanan, dan rencana pembangunan militer ke depan, baik untuk publik domestik maupun internasional,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa ketiadaan buku putih berpotensi merusak kepercayaan negara lain yang selama ini dibangun melalui transparansi sektor pertahanan. “Absennya buku putih berpotensi merusak kepercayaan negara lain yang terbentuk dari keterbukaan kita dalam bidang pertahanan,” ucapnya.
Curie juga mengingatkan bahwa keterbukaan informasi anggaran dan belanja pertahanan sebenarnya sudah diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurutnya, informasi strategis memang tidak dapat dibuka ke publik.
“Informasi mengenai strategi pertahanan nasional, intelijen, operasi, teknik, dan detail spesifik alat utama sistem senjata (alutsista) memang tidak boleh dibuka, namun informasi mengenai anggaran dan belanja semestinya bisa diakses,” ujar dia.
Selain itu, dia menyoroti ketiadaan dokumen pengganti kekuatan pokok minimum (minimum essential forces/MEF) yang menjadi acuan modernisasi pertahanan periode 2010–2024. Ia menilai arah pembangunan pertahanan saat ini justru terfragmentasi.
“Saat ini narasi pembangunan pertahanan terbelah antara konsep Perisai Trisula Nusantara (PTN) yang digagas Menteri Pertahanan pada 2021 dan optimum essential forces (OEF) yang tercantum dalam visi-misi pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2024. Tanpa peta jalan yang baru, program modernisasi militer menjadi terfragmentasi,” jelasnya.
Meski Kementerian Pertahanan dan TNI telah memiliki mekanisme pelayanan keterbukaan informasi publik, seperti pembentukan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) serta kanal pelapor pelanggaran (whistleblower), Curie menilai implementasinya belum maksimal.
“Kementerian Pertahanan dan TNI sebenarnya sudah memiliki mekanisme untuk melayani keterbukaan informasi publik. Namun komitmen tersebut belum sepenuhnya terimplementasi,” pungkasnya. (Dev/P-2)