Petugas mengevakuasi jasad korban reruntuhan Pondok Pesantren Al Khoziny.(Antara)
Tragedi runtuhnya bangunan musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025, menjadi pengingat penting bagi semua pihak tentang lemahnya sistem keselamatan bangunan pendidikan di Indonesia. Peristiwa yang menewaskan lebih dari 50 santri itu diduga dipicu oleh kombinasi faktor teknis, mulai dari fondasi lama yang tidak memadai, pengecoran yang belum matang, hingga kurangnya pengawasan konstruksi. Insiden tersebut kembali menyoroti urgensi regulasi dan pengawasan bangunan lembaga keagamaan yang selama ini kerap luput dari audit teknis.
Guru Besar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Fatma Lestari, menegaskan bahwa kasus tersebut harus dijadikan momentum untuk memperkuat sistem pencegahan kecelakaan bangunan di sektor pendidikan.
“Keselamatan bangunan bukan hanya soal teknik sipil, tapi juga soal tata kelola dan tanggung jawab publik. Bangunan pendidikan termasuk pesantren harus diperlakukan seperti fasilitas umum lain yang wajib memenuhi standar keselamatan,” ujar Fatma melalui keterangannya, Selasa (7/10).
Menurut Fatma, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan untuk mencegah keruntuhan bangunan, mulai dari perencanaan dan desain yang realistis, survei geoteknik, penggunaan material sesuai standar, hingga pengawasan teknis yang kompeten. Ia menekankan, banyak insiden terjadi karena pembangunan dilakukan tanpa melibatkan tenaga ahli bersertifikat.
“Masih banyak lembaga yang membangun atau menambah lantai tanpa perhitungan ulang kekuatan struktur. Kadang tenaga nonprofesional dilibatkan tanpa pengawasan insinyur atau pengawas bersertifikat. Ini sangat berisiko,” kata Fatma.
Ia juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan inspeksi massal terhadap bangunan pesantren dan sekolah di seluruh Indonesia. Langkah ini, kata Fatma, harus disertai peraturan yang menegaskan bahwa setiap renovasi atau pembangunan baru wajib memiliki izin konstruksi dan hasil uji kelayakan struktural.
“Pemerintah perlu hadir dengan sistem audit keselamatan bangunan pendidikan yang jelas dan berkelanjutan. Jangan hanya bertindak setelah terjadi korban,” tegasnya.
Fatma juga mengingatkan agar lembaga pendidikan menjadikan pemeliharaan bangunan sebagai bagian dari budaya keselamatan. “Bangunan itu seperti organisme hidup. Ia butuh perawatan, pengecekan berkala, dan perbaikan dini jika ditemukan kerusakan,” ujarnya.
Ia menutup dengan pesan reflektif bahwa setiap tragedi konstruksi harus menjadi pelajaran bersama. “Kita tidak boleh menganggap enteng aspek keselamatan. Membangun berarti menjaga nyawa. Keselamatan harus jadi pondasi moral dan teknis dari setiap pembangunan,” kata Fatma. (E-3)


















































