Tokoh senior properti tanah air bahas soal kontribusi sektor properti bagi pertumbuhan ekonomi.(Dok. REI)
Para tokoh senior Realestat Indonesia (REI) yang tergabung dalam Badan Pertimbangan Organisasi (BPO-REI) menggelar pertemuan untuk membahas berbagai persoalan sektor properti di tengah kondisi pasar yang masih lesu. Dalam forum tersebut, para senior REI juga menyatakan dukungan terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pertemuan yang berlangsung di kediaman Ketua Kehormatan REI, MS Hidayat, pada Rabu (29/10), dihadiri sekitar 37 tokoh dan mantan pengurus REI. Diskusi membahas isu perizinan, penurunan daya beli masyarakat, hingga arah kebijakan sektor perumahan.
“Kami berdiskusi santai, memberi masukan terhadap kebijakan yang berdampak pada sektor properti dan rencana kerja DPP REI ke depan,” ujar Hidayat, yang juga Menteri Perindustrian RI periode 2009-2014. Ia menambahkan, pertemuan serupa akan diadakan rutin setiap lima bulan untuk menyampaikan pandangan para senior terhadap kondisi industri.
Menurut Hidayat, sektor properti memiliki potensi besar sebagai penggerak ekonomi nasional karena terhubung dengan lebih dari 185 industri terkait. Namun, ia menegaskan bahwa perbaikan regulasi dan dukungan terhadap pengembang perlu diperkuat agar target pertumbuhan 8% dapat tercapai secara realistis.
Usulan Kebijakan dan Sorotan Pasar
Ketua BPO-REI Paulus Totok Lusida menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah, seperti pembangunan 3 juta rumah, perpanjangan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) hingga 2027, serta pembebasan BPHTB dan retribusi PBG untuk rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Totok juga mengusulkan agar masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) mendapat keringanan serupa, khususnya untuk rumah di bawah Rp500 juta. “Kami berharap bisa dibebaskan dari PPN meski bunganya komersial,” ujarnya.
Selain itu, ia menyinggung perlunya revisi ketentuan hunian berimbang dalam UU No. 1 Tahun 2011 yang dianggap memberatkan pengembang. BPO-REI mengusulkan alternatif berupa pembayaran dana konversi atau fleksibilitas lokasi dalam satu provinsi.
Biaya Hidup di Apartemen Masih Berat
Para senior juga menyoroti penurunan minat masyarakat terhadap apartemen. Menurut hasil pembahasan, salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya service charge yang bisa mencapai puluhan ribu rupiah per meter persegi. BPO-REI mengusulkan agar apartemen di bawah Rp1 miliar dikenakan tarif antara Rp12.000–Rp14.000 per meter persegi.
“Living cost di apartemen cukup tinggi, termasuk tarif air dan listrik yang dikenakan seperti bangunan komersial. Ini tidak adil dan perlu dikaji ulang,” ujar Soelaeman Soemawinata, Ketua Kehormatan REI lainnya. Ia menilai, bila biaya hidup di apartemen lebih terjangkau, minat masyarakat bisa meningkat dan turut membantu mengurai kemacetan di kota besar.
Isu Tata Ruang dan Kepastian Hukum
Anggota BPO-REI Adrianto P. Adhi menyoroti kebijakan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Baku Sawah (LBS) yang dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menilai pendekatan pemerintah yang lebih menekankan kondisi fisik tanah ketimbang tata ruang berpotensi bertentangan dengan amanat undang-undang.
Hal senada disampaikan MS Hidayat. “Pejabat negara dalam menetapkan kebijakan harus berpegang pada undang-undang, karena setiap keputusan memiliki konsekuensi hukum,” katanya.
Dorongan Optimalisasi Program Perumahan
Pengusaha properti James T. Riady dan Sugianto Kusuma (Aguan) mendorong anggota REI untuk memanfaatkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan senilai Rp130 triliun serta turut berperan dalam renovasi rumah tidak layak huni di berbagai daerah.
“Program kredit berbunga rendah ini seharusnya bisa dimanfaatkan maksimal oleh pelaku usaha properti,” ujar James Riady.
Beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Siswono Yudo Husodo, Suharso Monoarfa, Yan Mogi, Agusman Effendi, Setyo Maharso, Eddy Hussy, Alex Tedja, Nanda Widya, dan Herman Sudarsono. (Z-10)


















































