
DI Indonesia, tercatat hanya ada 5.910 arsitek yang memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA) yang merupakan dokumen legal yang menjadi syarat utama untuk dapat berkarya secara profesional di bidang arsitektur.
Di sisi lain, kebutuhan akan arsitek sangat tinggi. Dengan demografi penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 280 jiwa, diperlukan arsitek yang mumpuni untuk mendukung pembangunan kota yang layak dan inklusif serta berkelanjutan.
Hal tersebut menjadi latar belakang Binus University meluncurkan Program Pendidikan Profesi Arsitek (PPAr), Rabu,(23/4). Langkah ini menunjukkan komitmen Binus mendukung peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga arsitek yang tersertifikasi.
Kepala Program Studi Pendidikan Profesi Arsitektur (PPAr)Binus University Albertus Galih Prawata mengatakan, Union Internationale des Architectes (UIA), atau Persatuan Arsitek Internasional menyatakan bahwa pendidikan untuk menjadi arsitektur memerlukan waktu lima tahun, sedangkan di Indonesia, masih empat tahun.
"Sayang disayangkan bila Binus yang punya jurusan arsitektur sudah sejak lama tapi tidak memiliki pendidikan profesi. PPAr ini menjadi yang ditempuh selama satu ini menjadi satu pelengkap. Dengan PPAr ini Binus mendukung calon arsitek masa depan indonesia yang diakui secara internasional," kata Albertus Galih ketika ditemui media di Kampus Binus Anggrek, Jakarta.
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Teknik BINUS University, Nina Nurdiani mengatakan Pendidikan Profesi Arsitek menjadi langkah penting agar lulusan arsitektur Indonesia dapat memenuhi standar internasional dan memiliki otoritas penuh sebagai arsitek profesional.
"Ini bukan hanya soal jumlah lulusan sarjana arsitektur, tapi juga kualitas lulusan yang memenuhi kompetensi arsitek profesional berstandar global,” jelas Nina.
Program PPAr BINUS dilaksanakan selama dua semester dan mencakup mata kuliah utama seperti Studio Perancangan Arsitektur serta Kode Etik Profesi Arsitek. Kurikulumnya dirancang untuk memenuhi standar akademik sekaligus memberikan kesiapan praktis dan etika kerja bagi para calon arsitek.
Binus University menawarkan dua keunggulan yakni pendekatan kewirausahaan, yang mendorong lulusan untuk tidak hanya bekerja di biro arsitek, tetapi juga membangun praktik arsitektur mandiri dan berdaya saing.
"Salah satu mata kuliah yang akan diberikan di ini adalah kewirausahaan fokusnya management dalam lingkup arsitektur," jelas Albertus Galih
Keunggulan kedua yakni pendekatan climate responsive design, yaitu metode perancangan arsitektur yang mempertimbangkan karakteristik iklim lokal untuk menghasilkan bangunan yang lebih efisien, adaptif, dan berkelanjutan. “Kami ingin menghasilkan arsitek yang bukan hanya membangun bangunan, tetapi juga membangun masa depan,” tegas Nina.
“Mahasiswa diajak berpikir lebih luas: bagaimana desain dapat menjadi solusi untuk isu lingkungan, sosial, dan tata kota,” imbuhnya.
Aspek keberlanjutan menjadi perhatian utama dalam pengembangan program ini, terutama mengingat kondisi geografis dan iklim tropis Indonesia yang rawan terhadap bencana lingkungan seperti banjir. Arsitek masa depan dituntut tidak hanya memahami aspek estetika dan struktur, tetapi juga dampak lingkungan dari setiap keputusan desain.
Ketua Asosiasi Pendidikan Arsitektur Indonesia Yulianto P. Prihatmaji mengapresiasi hadirnya PPAr di Binus University. Ia menambahkan, dengan diluncurkannya PPAr, BINUS University membuka jalan bagi generasi baru arsitek Indonesia yang tidak hanya siap bekerja secara profesional, tetapi juga mampu menjawab tantangan kompleks masa depan dari urbanisasi hingga perubahan iklim. (H-2)