TII: Program Makan Bergizi Gratis Sarat Rente dan Jadi Bancakan Politik

1 month ago 22
 Program Makan Bergizi Gratis Sarat Rente dan Jadi Bancakan Politik Sejumlah anak yang diduga menjadi korban keracunan MBG dirawat di bangsal anak RSUD Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat, Kamis (2/10/2025).(Antara)

TRANSPARENCY International Indonesia (TII) menilai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan lebih dari 9 bulan ini sarat akan praktik rente, korupsi, dan penyalahgunaan anggaran.

Koordinator TII, Sigit Wijaya mengungkapkan MBG berpotensi besar menjadi ajang bancakan politik karena lemahnya tata kelola, konflik kepentingan, dan masalah dalam pemilihan mitra dapur.

“MBG rawan menjadi bancakan politik. Pemilihan mitra dapur bermasalah, konflik kepentingan kental, dan SPPG di banyak daerah tidak menerima pembayaran tepat waktu,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (2/10).

Menurut Sigit, program MBG dengan anggaran jumbo telah berubah menjadi lahan rente baru. Yayasan pengelola SPPG bahkan disebut melakukan praktik pemotongan dana yang menimbulkan risiko korupsi.

“Praktik pemotongan bukan hanya menurunkan kualitas menu, tapi juga menimbulkan potential lost yang besar karena nilainya masif dan sistemik,” tegasnya.

Dampak dari persoalan tersebut, lanjutnya, tidak sedikit penerima manfaat terpaksa mengkonsumsi makanan basi, sementara dana miliaran rupiah tetap digelontorkan.

Sigit juga menyoroti dampak MBG terhadap menurunnya alokasi anggaran pendidikan. Pada APBN 2026, program MBG menyedot 30-44% dari total anggaran pendidikan sebesar Rp757 triliun.

“Alih-alih memperbaiki mutu pendidikan, dana justru dipangkas untuk proyek ‘makan-makan’ yang gagal melindungi anak. Padahal, 4,2 juta anak masih tidak sekolah, lebih dari 60 persen SD rusak, dan jutaan guru belum bersertifikasi,” jelasnya.

Selain soal anggaran, MBG juga dinilai mengacaukan ekosistem sekolah. Guru, kata Sigit, terbebani tugas tambahan mulai dari mengelola distribusi makanan, mencatat alergi siswa, hingga menangani kasus keracunan.

“Kantin sekolah kehilangan pendapatan, orang tua dan komunitas tersisih dari pemenuhan gizi anak. Model sentralistik ini mematikan inisiatif lokal yang justru lebih sesuai dengan kebutuhan siswa,” ucapnya.

Di samping itu, Sigit menilai MBG belum mencerminkan prinsip kedaulatan pangan nasional. Menurut mereka, menu yang disajikan masih didominasi Ultra Processed Food yang tidak sesuai prinsip gizi seimbang. Selain itu, program ini dinilai belum memanfaatkan pangan lokal dan belum berpihak pada petani serta pelaku UMKM.

Desakan Audit dan Investigasi

Atas sederet persoalan tersebut, TII mendesak pemerintah menghentikan MBG yang dinilai sentralistik, militeristik, dan penuh masalah. Mereka juga meminta pertanggungjawaban Presiden, Badan Gizi Nasional (BGN), SPPG, dan pengelola dapur atas ribuan kasus keracunan anak.

“BGN harus membentuk tim pencari fakta independen, membuka hasilnya secara transparan, dan memberikan hak pemulihan kepada korban,” tegas Sigit.

Selain itu, TII juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan.

“Kami mendesak audit investigatif selama proyek MBG berlangsung, mengusut praktik rente dan korupsi, serta menindak tegas para pelakunya. Pemenuhan gizi anak harus dikembalikan kepada komunitas, sekolah, dan daerah dengan sistem transparan, partisipatif, dan berbasis kebutuhan anak,” pungkasnya. (Dev/I-1) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |