Tiga tokoh Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, Nasaruddin Umar, dan Arsjad Rasjid tampil di ajang forum perdamaian internasional, Daring Peace – International Meeting for Peace.(MI/HO)
TIGA tokoh Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, Nasaruddin Umar, dan Arsjad Rasjid tampil di ajang forum perdamaian internasional, Daring Peace – International Meeting for Peace. Mereka membawa wajah keberagaman dan kebijaksanaan dari tanah air.
Kehadiran ketiganya bukan sekadar simbol partisipasi diplomatik, melainkan pancaran dari sebuah kesadaran bahwa Indonesia memiliki modal moral yang relevan di tengah dunia yang gamang oleh konflik, ekstremisme, dan ketimpangan global.
Tiga suara itu—politik, spiritualitas, dan ekonomi—bersatu dalam satu pesan: perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk mempercayai manusia lain.
Sebagai pembicara utama, Jusuf Kalla membuka forum dengan nada yang tegas namun menenangkan. Mantan wakil presiden Indonesia berbicara dengan bahasa nurani yang lahir dari pengalaman.
“Perdamaian bukan sekadar ketiadaan perang,” ujar Kalla di hadapan ratusan pemuka agama dan kepala negara.
“Ia adalah keberanian untuk meletakkan senjata, baik fisik maupun ideologis—dan memilih jalan dialog, keadilan, dan solidaritas,” lanjutnya.
Kalla berbicara dari pengalaman panjangnya sebagai mediator konflik di Poso dan Aceh. Ia pernah melihat bagaimana dendam bisa meluluhlantakkan tatanan sosial, tapi juga menyaksikan bagaimana hati yang bersedia mendengar bisa menyembuhkan luka.
Sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Kalla menegaskan bahwa masjid tidak boleh sekadar menjadi tempat ibadah, tetapi harus menjadi ruang sosial yang menumbuhkan keadaban umat dan solidaritas kemanusiaan.
Dalam pandangannya, rumah ibadah adalah tempat terbaik untuk menanam benih perdamaian.
“Beranilah mewujudkan perdamaian,” katanya, “jangan hanya mengambil keuntungan dari konflik.”
Beberapa jam setelah pidato Kalla, Prof Nasaruddin Umar naik ke podium. Latar belakangnya sebagai Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal memberi bobot spiritual tersendiri pada pidatonya.
Nasaruddin berbicara lembut namun tajam, tentang bahaya politisasi agama yang menggerogoti fondasi perdamaian.
“Ancaman terbesar bagi perdamaian bukan agama,” ujarnya, “melainkan penyalahgunaan agama.”
Pidatonya di Roma pada 27 Oktober 2025 itu bergema seperti doa panjang dari Timur. Nasaruddin memaparkan gagasan tentang Islam rahmatan lil alamin, tentang bagaimana ajaran kasih dan kedamaian bisa menjadi perekat di tengah perbedaan.
Ia membawa Indonesia sebagai contoh konkret—sebuah “laboratorium kerukunan dunia,” katanya—tempat umat beragama hidup berdampingan dalam saling menghormati.
Bagi Nasaruddin, pengalaman keberagaman Indonesia adalah warisan spiritual yang bisa dibagikan kepada dunia.
Sementara itu, di sesi bertema Economy and Solidarity, Arsjad Rasjid menghadirkan dimensi lain dari perdamaian: keadilan ekonomi. Baginya, konflik sering kali berakar pada ketimpangan.
Ekonomi yang hanya memihak segelintir orang, tanpa nurani dan tanggung jawab sosial, hanyalah bentuk lain dari kekerasan yang tersembunyi.
“Ekonomi tanpa kemanusiaan,” katanya, “adalah bentuk konflik yang tersembunyi.”
Sebagai Ketua Kadin Indonesia dan Ketua DMI Bidang Kewirausahaan, Arsjad berupaya membumikan gagasan ekonomi berkeadaban. Ia percaya masjid dapat menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, bukan hanya ruang spiritual, tetapi juga tempat di mana solidaritas sosial tumbuh.
Melalui gerakan 5P Global Movement yang ia inisiasi, Arsjad menyerukan agar dunia usaha tidak lagi berdiri di luar persoalan kemanusiaan, tetapi ikut menjadi bagian dari solusi.
Dalam dirinya, spiritualitas dan kewirausahaan berpadu menjadi semangat perdamaian baru—modern, progresif, namun berakar kuat pada nilai-nilai Islam yang humanis.
Dari diplomasi moral yang diusung Jusuf Kalla, spiritualitas damai yang dibawa Nasaruddin Umar, hingga etika ekonomi yang ditegaskan Arsjad Rasjid, tiga suara Indonesia itu berpadu menjadi harmoni yang khas: pertemuan antara negara, agama, dan dunia usaha.
Ketiganya menegaskan bahwa perdamaian bukan urusan para rohaniwan semata, bukan pula monopoli politisi atau pebisnis, melainkan kerja bersama lintas iman, lintas sektor, dan lintas generasi. (Z-1)


















































