Fil, The Smashing Machine.(Dok. TV Insider)
Film The Smashing Machine karya Benny Safdie resmi tayang di bioskop Amerika Serikat pada 3 Oktober 2025. Film produksi A24 ini menjadi debut penyutradaraan solo Safdie setelah sebelumnya dikenal lewat kolaborasi di Uncut Gems dan Good Time.
Kali ini, ia menggandeng Dwayne “The Rock” Johnson yang memerankan Mark Kerr, legenda UFC pada masa awal berdirinya olahraga bela diri campuran (MMA), jauh sebelum industri ini menjelma menjadi bisnis bernilai miliaran dolar.
Lebih dari Sekadar Film Olahraga
The Smashing Machine tak hanya menyoroti pertarungan di arena. Film ini mengupas sisi gelap kehidupan Mark Kerr, termasuk perjuangannya melawan kecanduan narkoba dan alkohol, serta hubungannya yang rumit dengan kekasihnya, Dawn Staples (diperankan Emily Blunt).
Safdie mengungkapkan bahwa ide film ini bermula pada 2019, ketika Dwayne Johnson mendekatinya untuk mengadaptasi dokumenter The Smashing Machine: The Life and Times of Extreme Fighter Mark Kerr.
“Saya langsung jatuh cinta dengan kisah Mark, bukan hanya sebagai petarung, tapi sebagai manusia dengan pergulatan batin,” kata Safdie.
Pandemi sempat menunda proses produksi, namun Safdie mengaku tak pernah berhenti memikirkan proyek ini. Ia merasa terhubung secara pribadi dengan tema kecanduan, yang juga dialami dalam keluarganya.
“Saya ingin membuat film yang memperlihatkan detail kecil kehidupan seseorang, karena dari sanalah kita bisa memahami seluruh jiwanya,” ujarnya.
Pendekatan Sinematik yang Intim dan Autentik
Menurut Safdie, The Smashing Machine adalah film emosional tentang rekonsiliasi diri. Ia ingin penonton benar-benar “hidup” di dalam dunia Kerr, menghadirkan atmosfer mentah dan manusiawi.
Untuk mencapai hal itu, ia menggunakan kamera 16mm, menghasilkan tekstur visual yang kasar dan autentik, khas film-film A24.
Dwayne Johnson Tampil Berbeda: Rentan dan Manusiawi
Bagi Dwayne Johnson, proyek ini merupakan pergeseran besar dari citra “superhero”-nya di Hollywood. Safdie menyebut mereka banyak berdiskusi soal kerentanan dan konflik batin, bukan sekadar kekuatan fisik.
“Kami ingin menunjukkan hubungan yang nyata, di mana kedua pihak punya kesalahan. Tidak ada hitam putih,” kata Safdie.
Salah satu adegan paling intens adalah pertengkaran emosional antara Johnson dan Blunt, yang difilmkan seperti koreografi pertarungan, dibagi ke dalam beberapa segmen agar tiap momen terasa nyata.
“Begitu saya melihat hasilnya, saya tahu kami sudah mendapatkannya. Tidak perlu diulang,” ungkapnya.
Safdie juga memuji kemampuan subtil Johnson dalam mengekspresikan emosi:
“Ada adegan di lift di mana kamera hanya mengambil punggungnya, tapi dia tetap mampu menyampaikan perasaan yang dalam. Itu luar biasa.”
Langkah Selanjutnya: Petualangan Baru Bersama Lizard Music
Setelah The Smashing Machine, Safdie dan Johnson akan kembali berkolaborasi dalam adaptasi novel klasik anak-anak Lizard Music karya Daniel Pinkwater.
Safdie menyebut proyek ini sebagai film petualangan hangat untuk segala usia:
“Saya ingin membuat sesuatu yang bisa saya tonton bersama anak-anak saya, film yang hangat, ajaib, dan penuh rasa ingin tahu.” (Z-10)


















































