
WAKIL Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menilai pembangunan pabrik makanan ringan pertama oleh PepsiCo Indonesia menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor. Khususnya makanan ringan, yang selama ini didatangkan melalui jalur impor paralel dengan harga yang cenderung tinggi.
Dengan adanya fasilitas produksi lokal, distribusi produk seperti Lay’s, Cheetos, dan Doritos akan menjadi lebih luas dan harga diharapkan lebih terjangkau bagi konsumen dalam negeri. Pabrik ini sudah beroperasi sejak awal 2025 dan memiliki kapasitas produksi hingga 24.000 ton per tahun untuk tiga lini utama tersebut.
"Ini adalah langkah penting untuk memperkecil nilai impor makanan ringan kita," ujar Faisol dalam peresmian pabrik PepsiCo di kawasan Greenland International Industrial Center (GIIC), Jawa Barat, Rabu (18/6).
Data Kementerian Perindustrian mencatat nilai impor makanan ringan Indonesia pada 2024 mencapai US$59,3 juta atau sekitar Rp967,31 miliar (kurs Rp16.312), melonjak drastis sebesar 144% dibandingkan tahun 2020 yang hanya sebesar US$24,2 juta. Tren ini menunjukkan besarnya peluang pasar, sekaligus urgensi untuk memperkuat produksi dalam negeri agar tidak terus bergantung pada pasokan luar negeri.
Pasar makanan ringan di Indonesia didominasi generasi milenial dan Gen Z, dengan nilai mencapai US$3,87 miliar dan pertumbuhan rata-rata 8,13% per tahun. Hal ini membuka peluang besar bagi investasi industri pangan, termasuk oleh perusahaan multinasional seperti PepsiCo.
"Dengan adanya pabrik PepsiCo, kita bisa mengisi ruang pasar yang sebelumnya dipenuhi produk impor," kata Wamenperin.
PepsiCo Indonesia menanamkan investasi sebesar Rp3,3 triliun atau setara US$200 juta untuk pembangunan pabrik makanan ringan di Tanah Air. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi hingga 24.000 ton per tahun untuk tiga lini produk makanan ringan utama mereka.
Meskipun pada tahap awal masih mengandalkan impor bahan baku utama seperti kentang industri dan jagung dari Australia, Pepsico menggandeng 400 petani lokal, terdiri dari 200 petani jagung dan 200 petani kentang dalam pengembangan rantai pasok domestik.
"Kami mengapresiasi PepsiCo Indonesia yang telah mengutamakan penyediaan bahan baku lokal dan bekerja sama langsung dengan petani dalam negeri," tambah Faisol.
Dalam kesempatan sama, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menyambut baik pembangunan pabrik makanan ringan tersebut. Menurutnya, langkah ini berpotensi mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor.
"Ya, tentu kita berharap demikian," ujar Adhi.
Dia berpendapat pengembangan produksi lokal penting untuk memperkuat ketahanan industri, apalagi di tengah situasi global yang tidak menentu.
"Saat ini Pepsico sedang mengembangkan agar ke depan bisa diproduksi secara lokal. Ini penting agar kita tidak terus-menerus tergantung pada pasokan global," katanya.
Adhi menekankan ketidakpastian global seperti perang atau gangguan logistik dapat mempengaruhi rantai pasok, sehingga pengembangan industri dari hulu menjadi sangat penting. Dia juga menyoroti nilai impor pangan olahan Indonesia saat ini mencapai sekitar US$12 miliar atau setara Rp200 triliun, yang mencakup sekitar 10–12% dari total pasar produk makanan dan minuman di dalam negeri.
"Artinya, industri makanan dan minuman dalam negeri sebenarnya masih cukup kuat. Tapi kita harus tetap waspada agar daya saing kita tetap terjaga," tegasnya.
Rencana ekspansi
Director of Government Affairs and Corporate Communications PepsiCo Indonesia Gabrielle Angriani Johny mengungkapkan, pihaknya berencana ekspansi investasi di Indonesia. Saat ini, pabrik yang tengah dibangun berdiri di atas lahan seluas 6 hektare di kawasan GIIC. Ke depan, Pepsico menyiapkan tambahan lahan seluas 2 hektare yang berada di sebelahnya untuk mendukung potensi ekspansi ke depan.
"Apakah ada rencana ekspansi? Ya, kami melihat kemungkinan tersebut tergantung pada perkembangan kondisi bisnis," ujarnya.
Gabrielle juga menyampaikan saat ini produk PepsiCo telah hadir di jaringan ritel besar seperti Alfamart dan Indomaret. Dalam beberapa bulan ke depan, perusahaannya berharap dapat menambah varian produk yang ditawarkan di pasar Indonesia.
Pabrik yang sedang dibangun ini merupakan fasilitas produksi pertama PepsiCo di Indonesia yang sepenuhnya dimiliki dan dioperasikan sendiri.
"Kami memutuskan untuk memulai dengan pabrik makanan ringan (snack), karena kami melihat potensi pasar yang besar di Indonesia. Dari sisi jumlah penduduk dan permintaan konsumen, ruang tumbuhnya masih luas," katanya.
Lebih lanjut, Gabrielle menjelaskan perusahaan memiliki ambisi jangka panjang untuk meningkatkan penggunaan bahan baku lokal, terutama kentang yang saat ini masih banyak diimpor karena keterbatasan pasokan dalam negeri.
"Biaya impor kentang cukup tinggi, sehingga jika bisa diperoleh secara lokal, akan jauh lebih efisien. Untuk jagung, kami sudah menggunakan pasokan lokal karena ketersediaannya cukup memadai," tutupnya. (E-1)