
PRAKTIK sweeping buku oleh aparat kepolisian menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana menilai tindakan tersebut sebagai langkah mundur yang mengingatkan pada praktik otoriter masa lalu.
“Fenomena sweeping buku ini bukan hal baru. Pada masa lalu, militer juga melakukan hal serupa terhadap buku-buku yang dianggap berhaluan kiri dengan dalih mengajarkan Marxisme atau Leninisme. Kini, polisi melanjutkan pola itu. Ini langkah yang memalukan, kalau bisa dibilang konyol,” ujar Satria, Sabtu (20/9).
Satria mempertanyakan dasar hukum aparat menjadikan buku sebagai barang bukti pidana. Menurutnya, tanpa kajian serius dan objektif, tindakan itu justru bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan.
“Apakah aparat betul-betul membaca dan memahami isi buku dari awal hingga akhir, atau sekadar menjadikan sampul dan judul sebagai simbol untuk menakut-nakuti? Kalau seperti itu, ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi pengetahuan,” tegasnya.
Ia menekankan, buku apapun isinya baik berhaluan kiri, kanan, ekstrem, maupun moderat, hal tersebut tetaplah sumber ilmu pengetahuan. Justru, lanjutnya, membaca dan mendiskusikan buku merupakan tanda peradaban yang tumbuh sehat.
“Mahasiswa, pelajar, atau masyarakat yang membaca buku lalu menjadi kritis hingga berani berdiskusi atau melakukan demonstrasi, itu seharusnya dirayakan sebagai tanda sehatnya demokrasi. Bukan justru ditakuti lalu dipidanakan,” jelas Satria.
Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya itu juga menyinggung kekhawatiran yang kerap disuarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengenai kembalinya praktik gaya Orde Baru. Menurutnya, pembatasan kebebasan akademik lewat pelarangan buku hanya akan mengulang sejarah kelam.
“Kebebasan akademik harus dijaga. Buku tidak bisa dijadikan alat bukti untuk memidanakan seseorang hanya karena bacaan mereka membuatnya kritis. Kalau praktik sweeping ini dibiarkan, kita berisiko mengulang normalisasi gaya lama seperti era NKK/BKK di masa Orde Baru,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa aparat keamanan semestinya memperluas ruang kebebasan akademik, bukan mempersempitnya dengan sikap antiilmu pengetahuan. “Aparat seharusnya mengembalikan ruang kebebasan akademik, bukan justru mempersempitnya,” kata Satria.
Sebelumnya, publik dikejutkan dengan langkah Polda Jawa Barat yang memamerkan sejumlah buku sebagai barang bukti dalam kasus kericuhan aksi demonstrasi di Bandung. Polisi menyebut beberapa buku yang disita memuat teori anarkisme dan diduga menjadi referensi literasi bagi massa aksi anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat. (Dev/P-2)