Surplus Perdagangan RI Tembus 65 Bulan Beruntun, Capai Rp557 T

6 hours ago 1
Surplus Perdagangan RI Tembus 65 Bulan Beruntun, Capai Rp557 T ilustrasi.(Antara.)

BADAN Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indonesia kembali mencatatkan surplus perdagangan barang sepanjang Januari hingga September 2025 dengan nilai US$33,48 miliar atau sekitar Rp557 triliun (asumsi kurs Rp16.668 per dolar AS). Angka ini meningkat US$11,30 miliar dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, atau setara dengan Rp188,4 triliun.

Dengan capaian ini, neraca perdagangan "barang Indonesia mengalami surplus selama 65 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," kata Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers Rilis BPS pada 3 November 2025, secara daring, Senin (3/11).

Angka surplus tersebut didapat dari  nilai ekspor Indonesia mencapai US$209,80 miliar atau setara Rp3.497,7 triliun sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini. Angka tersebut naik 8,14% dibandingkan periode yang sama pada 2024. Sementara itu, nilai impor mencapai US$176,32 miliar atau sekitar Rp2.940,8 triliun, meningkat 2,62% secara tahunan.

Pudji menerangkan surplus perdagangan dari Januari hingga September 2025 ditopang oleh sektor nonmigas yang mencatat nilai surplus US$47,20 miliar atau sekitar Rp787 triliun. Sebaliknya, sektor migas masih mengalami defisit sebesar US$13,71 miliar atau sekitar Rp228,4 triliun.

Pudji menjelaskan berdasarkan negara mitra dagang, tiga negara penyumbang surplus terbesar adalah Amerika Serikat (AS) dengan US$13,48 miliar (Rp224,7 triliun), India dengan US$10,45 miliar (Rp174,2 triliun), dan Filipina dengan US$6,54 miliar (Rp109,1 triliun). Sementara itu, tiga negara penyumbang defisit terbesar adalah Tiongkok dengan minus US$14,32 miliar (Rp238,7 triliun), Australia dengan minus US$4,01 miliar (Rp66,9 triliun), dan Singapura dengan minus US$3,43 miliar (Rp57,2 triliun).

Untuk kelompok nonmigas, tiga negara penyumbang surplus terbesar masih didominasi Amerika Serikat dengan US$15,70 miliar (Rp261,9 triliun), India dengan US$10,52 miliar (Rp175,3 triliun), dan Filipina dengan US$6,45 miliar (Rp107,5 triliun). Sedangkan negara penyumbang defisit nonmigas terbesar adalah Tiongkok sebesar US$15,60 miliar (Rp260,2 triliun), Australia sebesar US$3,38 miliar (Rp56,3 triliun), dan Thailand sebesar US$1,29 miliar (Rp21,5 triliun).

Sementara, lanjut Pudji, komoditas yang menjadi penyumbang utama surplus nonmigas sepanjang Januari hingga September 2025 antara lain lemak dan minyak hewani/nabati (HS15) dengan nilai US$25,14 miliar (Rp419,3 triliun). Lalu, diikuti bahan bakar mineral (HS27) dengan US$20,15 miliar (Rp335,9 triliun), dan besi serta baja (HS72) dengan US$14,11 miliar (Rp235,4 triliun).

"Di sisi lain, komoditas penyumbang defisit terbesar berasal dari mesin dan peralatan mekanis (HS84) dengan defisit US$20,63 miliar (Rp343,9 triliun)," kata Pudji.

Kemudian, komoditas mesin dan perlengkapan elektrik (HS85) sebesar US$8,66 miliar (Rp144,3 triliun), serta plastik dan barang dari plastik (HS39) sebesar US$5,69 miliar (Rp94,8 triliun).

Jika dilihat berdasarkan negara, surplus perdagangan dengan Amerika Serikat terutama didorong oleh ekspor komoditas mesin dan perlengkapan elektrik (HS85), pakaian dan aksesori rajutan (HS61), serta alas kaki (HS64). Sementara itu, surplus dengan India disumbang oleh bahan bakar mineral (HS27), lemak dan minyak nabati (HS15), serta besi dan baja (HS72). Untuk Filipina, surplus terutama berasal dari kendaraan dan bagiannya (HS87), bahan bakar mineral (HS27), serta lemak dan minyak nabati (HS15).

Sebaliknya, defisit perdagangan dengan Tiongkok sebagian besar disebabkan oleh tingginya impor mesin dan peralatan mekanis (HS84), mesin elektrik (HS85), serta kendaraan dan bagiannya (HS87). Defisit dengan Australia ditopang oleh impor cerealia (HS10), bahan bakar mineral (HS27), serta bijih logam dan abu (HS26). Adapun defisit dengan Thailand didorong oleh plastik dan barang plastik (HS39), gula dan kembang gula (HS17), serta mesin mekanis (HS84).

Khusus untuk September 2025, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar US$4,34 miliar atau sekitar Rp72,3 triliun. Surplus tersebut terutama ditopang oleh sektor nonmigas yang mencapai US$5,99 miliar atau Rp99,9 triliun, sedangkan sektor migas mengalami defisit US$1,64 miliar atau sekitar Rp27,3 triliun.

"Komoditas penyumbang utama surplus pada bulan tersebut adalah lemak dan minyak nabati (HS15), bahan bakar mineral (HS27), serta besi dan baja (HS72)," pungkas Pudji.  (Ins/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |