Warga Sudan.(Al Jazeera)
KENGERIAN baru muncul dari Darfur, Sudan Barat, setelah kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) merebut kota El Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara. El Fasher selama 18 bulan terakhir menjadi benteng terakhir tentara Sudan (SAF) di kawasan itu.
Ribuan warga sipil dilaporkan hilang dan banyak yang menjadi korban kelaparan serta kekerasan brutal. Badan-badan PBB dan lembaga kemanusiaan internasional memperingatkan potensi bencana kemanusiaan baru di wilayah yang sudah lama dilanda perang saudara tersebut.
Seorang pemuda Sudan yang berhasil melarikan diri, Alkheir Ismail, ke Kota Tawila, sekitar 50 kilometer dari el-Fasher, menuturkan kisah mengerikan saat dirinya ditangkap bersama 300 warga lain oleh pasukan RSF. "Ada seorang pemuda yang dulu kuliah bersama saya di Khartoum. Ia berkata kepada mereka, 'Jangan bunuh dia.' Setelah itu, mereka membunuh semua orang lain, para pemuda yang bersama saya, dan teman-teman saya," ujarnya dikutip dari Al Jazeera, Minggu (2/11).
Kesaksian serupa datang dari Tahani Hassan. "Tiba-tiba mereka muncul entah dari mana. Tiga orang muda muncul, usia berbeda. Mereka menembak ke udara dan berkata, 'Berhenti!' Mereka mengenakan seragam RSF," katanya.
"Mereka memukul kami dengan keras. Mereka melempar pakaian kami ke tanah. Bahkan saya, seorang perempuan, digeledah. Penyerangnya bahkan lebih muda dari anak saya."
Fatima Abdulrahim mengaku berjalan selama lima hari dalam kondisi mengenaskan untuk mencapai Tawila. "Mereka memukuli para lelaki dan mengambil semua milik kami. Mereka tidak menyisakan apa pun. Setelah tiba di sini, kami baru tahu bahwa gadis-gadis di kelompok yang datang setelah kami telah diperkosa, tetapi anak-anak kami selamat," ungkapnya.
Perempuan muda yang juga melarikan diri dari El Fasher, Rawaa Abdalla, mengatakan ayahnya hilang. "Kami tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, apakah dia ikut bersama yang melarikan diri atau terluka," tuturnya.
Kepala RSF Mohamed Hamdan 'Hemedti' Dagalo, dalam pidatonya Rabu malam menyerukan para tentaranya untuk melindungi warga sipil dan menegaskan bahwa pelanggaran akan dihukum. Namun, Kamis lalu, ketika RSF mengeklaim telah menahan beberapa prajurit yang dituduh melakukan kekerasan, pejabat kemanusiaan PBB Tom Fletcher meragukan komitmen kelompok itu untuk benar-benar menyelidiki pelanggaran.
Baik RSF maupun tentara Sudan sama-sama menghadapi tuduhan kejahatan perang selama konflik yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa sekitar 14 juta jiwa meninggalkan rumah mereka. PBB menyebut Sudan kini menghadapi krisis kemanusiaan terburuk di dunia dengan kelaparan dan wabah kolera yang terus meningkat.
Dibunuh, Diblokade, Dikejar
PBB mencatat lebih dari 62 ribu orang melarikan diri dari El Fasher antara Minggu hingga Rabu. Sebelum kota itu jatuh, sedikitnya 260 ribu warga masih tinggal di sana.
Dalam pernyataannya, organisasi Doctors Without Borders (MSF) menyebut hanya sekitar 5.000 orang yang berhasil mencapai Tawila selama lima hari terakhir.
"Berdasarkan kesaksian pasien, kemungkinan besar, meskipun menakutkan, mereka dibunuh, diblokade, atau diburu ketika mencoba melarikan diri," ujar Kepala Operasi Darurat MSF, Michel Olivier Lacharite. Ia menyerukan agar mediator seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir segera bertindak.
MSF juga melaporkan seluruh anak di bawah lima tahun dari 70 pengungsi baru di Tawila menderita malanutrisi akut. Sekitar 57 persen di antara anak itu dalam kondisi parah.
Para penyintas mengaku RSF memisahkan warga berdasarkan jenis kelamin, usia, atau identitas etnis. Banyak di antaranya disandera dan diminta tebusan antara 5 juta hingga 30 juta pound Sudan atau setara US$8.000 hingga US$50.000.
Seorang saksi melaporkan adegan keji ketika pasukan RSF melindas para tahanan dengan kendaraan mereka. Badan Kependudukan PBB (UNFPA) yang memberi bantuan kemanusiaan di Tawila juga mengonfirmasi kesaksian serupa.
Seorang pria berusia 24 tahun mengatakan dari 200 orang dalam kelompoknya, hanya empat yang bisa membayar tebusan dan selamat dari empat pos pemeriksaan RSF. "Yang lain dibunuh. Mereka membunuh anak-anak, orang tua, dan perempuan. Saya tidak bisa menggambarkan pemandangan itu, melihat orang mati tepat di depan mata, masing-masing dengan satu peluru," ujarnya.
Seorang perempuan berusia 26 tahun mengatakan suaminya dibunuh setelah hanya sempat membayar tebusan bagi dirinya dan anak-anaknya. Sementara gadis berusia 19 tahun mengaku diperkosa setelah ditanya apakah dirinya masih perawan.
UNFPA juga memastikan sedikitnya 460 orang dibunuh pasukan RSF di rumah sakit bersalin El Fasher pada 29 Oktober. Jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi karena di antara korban terdapat pasien, pengungsi, dan tenaga medis.
Pembantaian Meluas ke Kordofan
PBB melaporkan lebih dari 36 ribu orang melarikan diri dari daerah Bara di Negara Bagian Kordofan Utara setelah wilayah itu direbut RSF pekan lalu. Kawasan tersebut kini diperkirakan menjadi medan perang berikutnya karena ibu kota negara bagian, El Obeid, masih dikuasai tentara.
"Laporan pelanggaran serius juga muncul terkait perebutan Kota Barra oleh RSF, termasuk dugaan eksekusi terhadap lima relawan Palang Merah. Rekan-rekan kami di bidang hak asasi manusia juga menerima laporan mengejutkan tentang kekerasan seksual," kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric.
Juru bicara Sudan Doctors Network, Mohammed Elsheikh, mengatakan kepada Al Jazeera dari Manchester bahwa kondisi kesehatan para pengungsi sangat buruk. "Perjalanan dari Bara ke Kota el-Obeid sangat berat, melewati padang pasir dengan suhu tinggi di siang hari dan dingin ekstrem di malam hari," katanya.
Wilayah Bara menjadi ajang pertempuran sengit antara RSF dan tentara Sudan. Pada Juli lalu, RSF menyerbu sejumlah desa di Kordofan Utara dan membakarnya, menewaskan hampir 300 orang termasuk anak-anak dan perempuan hamil. (I-2)


















































