Suara-suara Anak Muda semakin Bergema di Ruang Konstitusi

3 hours ago 1
Suara-suara Anak Muda semakin Bergema di Ruang Konstitusi Ilustrasi(MI/Usman Iskandar)

DI ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang khidmat, suara anak muda kini semakin sering terdengar. Mereka datang bukan dengan spanduk atau megafon, melainkan dengan naskah permohonan, bukti hukum, dan keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari lembar konstitusi.

Berdasarkan data perkara yang dihimpun dari risalah sidang, putusan, dan rilis resmi MK sepanjang 2025,  terdapat puluhan permohonan uji materiil dan formil undang-undang (UU) yang diajukan oleh mahasiswa, baik secara individu maupun melalui organisasi kampus.

Dari isu lingkungan hidup hingga pendidikan, dari soal militer hingga hukum tata negara, para mahasiswa kini menjadikan MK sebagai ruang baru perjuangan demokrasi.

Salah satu perkara yang paling banyak diperbincangkan tahun ini adalah Perkara uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) oleh Empat mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Putusan itu berhasil dikabulkan oleh MK (MK) pada Kamis (2/1/) lalu. 

Dengan putusan ini, MK secara resmi menghapus ketentuan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold dalam pemilu.

Enika Maya Oktavia sebagai pemohon mengatakan bahwa penting bagi mahasiswa untuk aktif dalam mengawal jalannya demokrasi yang sehat. Menurutnya, hal itu berdampak pada kualitas kebijakan yang memengaruhi kehidupan anak muda di masa depan 

“Dalam konteks gugatan yang diajukan kemarin, demokrasi sudah seharusnya memberikan ruang bagi munculnya gagasan-gagasan baru dan calon alternatif. Dengan adanya putusan ini, kami berharap sistem akan lebih terbuka, kami optimis akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih kreatif dan inovatif,” katanya saat dikonfirmasi pada Rabu (29/10).  

Selain itu, ada perkara Nomor 119/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh dua mahasiswa, Leonardo Turnip dan Jovan Naibaho. Mereka menggugat Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Leonardo mengatakan, pihaknya sejumlah pasal dalam UU tersebut justru melemahkan peran publik dalam menjaga lingkungan. Baginya, partisipasi publik dalam pembentukan hukum adalah syarat utama demokrasi yang sehat.

“Kami ingin negara tidak hanya bicara soal eksploitasi, tapi juga keberlanjutan. Lingkungan bukan sekadar sumber daya, tapi ruang hidup,” ujar Leonardo.

Sementara itu, Di bidang pendidikan ada Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) yang mencatatkan sejarahnya sendiri di MK. Mereka mengajukan uji materi terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) karena menilai jaminan dana pendidikan dalam undang-undang itu belum sepenuhnya berpihak pada keadilan sosial.

Permohonan itu menyoroti lemahnya komitmen negara dalam menjamin hak pendidikan yang setara dan inklusif bagi seluruh warga negara.

“Kami hanya ingin memastikan negara tidak abai terhadap amanat konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata perwakilan LMID dalam berkas gugatannya

Gerakan dari Banyak Kampus

Gerakan konstitusional ini tak berhenti di situ. Dari Jakarta, Bandung, Surakarta, Yogyakarta hingga Makassar, nama-nama mahasiswa mulai menghiasi daftar perkara MK.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional, misalnya, tercatat sebagai pemohon dalam Perkara Nomor 154/PUU-XXIII/2025 yang menguji regulasi pilkada.

Sementara itu, kelompok mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) menantang UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI melalui Perkara Nomor 73/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025, dengan alasan proses pembentukannya tidak memenuhi asas keterbukaan.

Permohonan tersebut diajukan oleh Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Muhammad Akmal Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando. 

“Kami melakukan permohonan uji formil ini sebagai bentuk tanggung jawab akademik kami sebagai mahasiswa fakultas hukum,” kata Moch Rasyid Gumilar.
Ia menambahkan, permohonan tersebut juga bertujuan memastikan proses pembentukan undang-undang berjalan sesuai dengan konstitusi dan ketentuan hukum yang berlaku.

“Kami ingin memastikan proses pembentukan undang-undang dijalankan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang telah diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar dia menambahkan.

Mereka berharap ke depan semakin banyak anak muda yang berani untuk mendorong akuntabilitas legislasi di Indonesia dan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, dalam Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025, mahasiswa juga tercatat sebagai bagian dari kelompok pemohon yang menggugat UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pejabat Negara, dengan alasan ketentuan di dalamnya tidak lagi relevan dengan prinsip keadilan sosial.

Selain itu, ada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) juga tercatat aktif melalui Perkara Nomor 52/PUU-XXIII/2025, yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Permohonan tersebut diajukan pada Maret 2025 dan menjadi sorotan publik karena mendorong transparansi dalam proses legislasi.

Selain kasus-kasus tersebut, MK juga mencatat beberapa permohonan lain yang diajukan oleh kelompok mahasiswa lintas kampus, terutama yang berkaitan dengan UU Kejaksaan, UU MK, dan UU sektor publik lainnya seperti Minerba, Kesehatan, Kementerian Negara, Kejaksaan, Advokat hingga Lalu Lintas. (P-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |