
SEBUAH penelitian yang berlangsung sejak Maret 2018 hingga 2020 di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) memberikan pemahaman baru tentang bagaimana sel punca (stem cell) dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kesuburan.
Studi ini dilakukan menggunakan tikus jantan yang sengaja dibuat infertil melalui kondisi malnutrisi, sehingga testis mereka mengalami kerusakan dan tidak lagi mampu memproduksi sperma.
Sel punca dalam penelitian ini diambil dari sumsum tulang tikus sehat berusia tiga bulan. Setelah itu, sel-sel tersebut dikembangkan di laboratorium dalam dua kondisi berbeda.
Pertama, yaitu dalam lingkungan dengan oksigen normal (21%) dan yang kedua, lingkungan dengan oksigen rendah (1%). Setelah empat hari, sel punca kemudian ditransplantasikan ke dalam testis tikus mandul untuk melihat efektivitasnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel punca dalam kondisi oksigen rendah bertahan hidup lebih lama dan bekerja lebih baik dibandingkan dengan oksigen normal.
Sel-sel tersebut mampu memperbaiki jaringan testis yang rusak, memunculkan kembali struktur tabung seminiferus (bagian testis tempat pembentukan sperma), hingga mengaktifkan kembali sel-sel pendukung seperti sel Sertoli dan sel Leydig.
Perbaikan ini menandakan bahwa testis kembali memiliki potensi untuk menghasilkan sperma. Dalam catatan tertulisnya, tim peneliti menulis kondisi oksigen rendah membuat sel punca berada dalam keadaan "istirahat" atau quiescent.
Dalam kondisi ini, sel tidak cepat menua, tidak mudah mati, dan lebih siap beradaptasi ketika dipindahkan ke tubuh hewan uji. Dengan begitu, peluang keberhasilan transplantasi meningkat.
Penelitian yang dilakukan di Surabaya ini menegaskan bahwa faktor lingkungan kultur sel sangat penting untuk keberhasilan terapi sel punca. Selama ini, salah satu tantangan terbesar dalam transplantasi sel adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup sel setelah ditanamkan ke tubuh.
Jika sel cepat mati, efektivitas terapi pun berkurang. Dengan strategi kultur hipoksia (oksigen rendah), masalah ini dapat diminimalkan. Meskipun, riset ini masih terbatas pada hewan percobaan, hasilnya membuka jalan bagi penelitian lanjutan di bidang kesehatan reproduksi manusia.
Semakin banyaknya kasus gangguan kesuburan akibat kerusakan testis, pendekatan ini berpotensi menjadi salah satu alternatif terapi di masa depan. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kerja sama lintas disiplin, mulai dari ilmu kedokteran hewan, biologi sel, hingga kesehatan reproduksi.
Para peneliti menekankan bahwa hasil yang diperoleh belum bisa langsung diterapkan pada manusia, namun dapat menjadi pijakan untuk penelitian lanjutan yang lebih luas.
Sumber: National Library of Medicine