
KASUS perundungan di lingkungan kampus kembali menjadi sorotan publik. Belakangan, banyak mahasiswa memilih mengungkap kasus yang mereka alami atau saksikan melalui media sosial ketimbang melapor ke pihak kampus.
Hal itu dinilai karena efek pemberitaan di media sosial jauh lebih kuat dalam mendorong perhatian publik dan tindak lanjut dari pihak berwenang. Sementara, jalur internal kampus sering kali dianggap tidak transparan dan cenderung menutup-nutupi kasus dengan alasan menjaga nama baik institusi.
Dalam sejumlah kasus, pihak kampus memilih menyelesaikan perundungan secara internal dengan pertimbangan reputasi lembaga. Namun, pendekatan semacam ini dinilai keliru karena sering kali mengesampingkan hak-hak korban.
Sosiolog Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Bagong Suyanto menilai bahwa kecenderungan kampus untuk menutupi kasus perundungan merupakan bentuk kegagalan lembaga pendidikan dalam melindungi civitasnya.
"Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa, bukan malah menjadi tempat yang membungkam korban. Ketika kampus memilih menjaga nama baik ketimbang menegakkan keadilan, maka hak korban justru terabaikan," kata Bagong saat dihubungi, Senin (20/10).
Ia menjelaskan, penanganan kasus perundungan seharusnya tidak berhenti pada penyelesaian internal, melainkan perlu dilakukan secara terbuka, profesional, dan berpihak pada korban.
Bagong menekankan bahwa kampus harus proaktif membangun sistem pencegahan perundungan yang melibatkan berbagai pihak. Langkah tersebut bisa dilakukan dengan membentuk jaringan anti-perundungan yang terdiri dari dosen, mahasiswa, serta alumni yang dikenal sebagai pionir dan aktivis sosial.
"Kampus perlu melibatkan para pionir mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap isu kemanusiaan dan keadilan sosial. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang mendorong budaya saling menghormati dan menghentikan siklus kekerasan di lingkungan akademik," ujarnya.
Menurutnya, penyelesaian kasus perundungan tidak cukup hanya dengan sanksi administratif, melainkan harus disertai pendidikan karakter, pembenahan sistem pelaporan, serta dukungan psikologis bagi korban.
Ia menambahkan, maraknya kasus perundungan di kampus akhir-akhir ini menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa dunia pendidikan masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
"Kampus harus berani berubah. Jangan sampai mahasiswa merasa bahwa satu-satunya jalan untuk mencari keadilan adalah dengan membuka suara di media sosial. Itu pertanda sistem internal kampus gagal menjalankan fungsinya," pungkasnya. (H-2)