
SKIZOFRENIA disebut sebagai gangguan mental paling menghancurkan, menurut Henry Cockburn, pria asal Inggris yang didiagnosis penyakit ini sejak usia 20 tahun. Awal mula skizofrenia justru tidak tampak sebagai sesuatu yang ganjil.
Pada Februari 2002, ia tiba-tiba memutuskan meninggalkan kuliah seninya di Universitas Brighton. Henry ingin hidup di luar hiruk-pikuk kota, di tempat yang menurutnya lebih sarat keajaiban. Ia bertekad berjalan pulang tanpa alas kaki sejauh 70 mil atau sekitar 113 kilometer menuju rumah masa kecilnya di Canterbury.
Baru menempuh sekitar 15 mil (24 kilometer), Henry mendengar suara pesawat dari kejauhan. Suara biasa bagi orang lain itu ditafsirkan sebagai tanda “kekuatan jahat”. Ia merasa sedang diawasi dan dibuntuti.
Melompat ke laut menjadi satu-satunya cara ia melarikan diri. Ia pun menceburkan diri ke perairan dingin Estuari Newhaven, berusaha berenang menjauh dari “kehadiran berbahaya” yang ia bayangkan. Beruntung, sekelompok nelayan menemukannya dan mengevakuasi Henry tepat sebelum tubuhnya tak sanggup lagi bertahan dari hipotermia.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, ia kemudian dirujuk ke rumah sakit jiwa. Di sanalah dokter mendiagnosisnya dengan skizofrenia.
Skizofrenia, gangguan mental yang sering disalahpahami
Skizofrenia, salah satu gangguan mental yang paling sering dibicarakan, tetapi paling sering disalahpahami. Menurut data Asosiasi Psikiatri Amerika, gangguan ini memengaruhi sekitar 0,32% populasi dunia atau sekitar 24 juta orang. Skizofrenia bersifat kronis, ditandai psikosis, halusinasi, delusi, kurangnya motivasi, dan gangguan berpikir serta berbicara.
Kisah Henry menggambarkan pola yang cukup khas. Gejala muncul pada awal masa dewasa, diawali perubahan psikologis. Kemudian diikuti realita palsu, delusi, paranoia, serta halusinasi yang semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Menariknya, Henry sempat menolak memandang pengalamannya sebagai penyakit. Baginya, itu lebih terasa sebagai “kebangkitan spiritual”. Ia merasa sedang berusaha keluar dari sistem sosial. Sistem itu “tidak suka” ketika seseorang menolak untuk tunduk.
“Saya kesal, marah, bertanya-tanya kenapa orang lain tidak bisa memahami saya,” katanya. Baru bertahun-tahun kemudian ia bisa sedikit memahami cara pandang orang-orang di sekitarnya.
Dari mana asal kesalahpahaman tentang skizofrenia?
Psikiater Swiss, Eugen Bleuler memperkenalkan istilah ini pertama kali tahun 1908. Istilah ini dari kata Yunani schizo yang berarti “terbelah” dan phrene yang berarti “pikiran.” Bleuler juga memperkenalkan istilah “autisme” untuk menggambarkan penarikan diri sosial ekstrem yang dialami beberapa pasien.
Pada awal abad ke-20, Bleuler berpendapat skizofrenia ditandai “pemisahan fungsi psikologis,” di mana kepribadian seseorang kehilangan kesatuan. Sayangnya, definisi ini melahirkan kesalahpahaman skizofrenia sama dengan gangguan identitas disosiatif (dulu disebut kepribadian ganda).
Padahal, keduanya berbeda jauh. Gangguan identitas disosiatif biasanya dipicu trauma berat, ditandai dengan keberadaan dua atau lebih kepribadian berbeda yang mengambil alih perilaku. Skizofrenia lebih banyak terkait dengan delusi, paranoia, halusinasi, dan gangguan berpikir.
Kesalahpahaman itu masih bertahan hingga kini, diperburuk stigma sosial yang melekat pada pasien skizofrenia. Menurut Dr. Deepak D’Souza dari Universitas Yale, masyarakat sering kali mengasosiasikan skizofrenia dengan “kegilaan” atau “ancaman.”
Dr. Jeffrey Lieberman dari Universitas Columbia menegaskan, meski ada sebagian kecil pasien dengan gejala ekstrem, pandangan stereotip itu menyesatkan. Sebenarnya, individu dengan skizofrenia biasanya lebih membahayakan diri mereka sendiri dibandingkan orang lain.
Situasi makin rumit karena istilah “skizofrenik” atau “skizo” kerap digunakan dengan salah kaprah dalam bahasa sehari-hari, misalnya untuk menggambarkan orang yang bingung atau terbelah pikirannya.
Mengapa skizofrenia sering muncul di usia muda?
Para ahli menemukan gejala skizofrenia umumnya mulai tampak pada usia 15-25 tahun. Seseorang yang sebelumnya sehat, tiba-tiba mengalami apa yang disebut krisis pertama dalam kemampuan beraktivitas sehari-hari. “Skizofrenia adalah gangguan paling menghancurkan karena menyerang sebelum seseorang mencapai potensi penuh hidupnya,” kata D’Souza.
Penyakit ini diduga terkait dengan proses perkembangan otak. Otak remaja masih terus mengalami pematangan, terutama pada koneksi antar-neuron. Bila ada kerentanan genetik atau biologis, proses normal ini bisa menyimpang, lalu menampakkan gejala pada awal usia dewasa.
Meski lebih sering menyerang laki-laki, ada juga puncak kedua pada usia 50-an, khususnya perempuan. Para peneliti mengaitkannya dengan perubahan hormonal pascamenopause.
Faktor risiko
Penyebab skizofrenia masih belum sepenuhnya diketahui, namun beberapa faktor risiko diyakini berkontribusi, antara lain:
- Genetik dan kimia otak: interaksi gen dan neurotransmiter bisa meningkatkan kerentanan.
- Kelainan struktural otak: studi pencitraan menemukan anomali tertentu, meski belum konsisten pada semua pasien.
- Kondisi saat kehamilan dan persalinan: preeklampsia, persalinan sulit, atau berat lahir rendah dapat menggandakan risiko.
- Stres dan trauma: pengalaman traumatis dapat memicu timbulnya gejala pada individu rentan.
- Konsumsi zat psikoaktif: terutama ganja saat remaja, karena THC di dalamnya dapat mengganggu sistem endokannabinoid otak yang berperan penting dalam perkembangan saraf.
Gejala yang mengubah realitas
Skizofrenia menampilkan spektrum gejala yang luas, seperti:
- Delusi: keyakinan yang tidak sesuai realitas, misalnya yakin diawasi CIA.
- Halusinasi: mendengar suara atau melihat sesuatu yang tak nyata.
- Paranoia: perasaan terus-menerus diawasi atau direncanakan sesuatu.
- Gangguan kognitif: sulit merencanakan, memproses informasi, atau menarik kesimpulan logis.
- Gejala negatif: kehilangan motivasi, isolasi sosial, ucapan tidak teratur, gerakan aneh.
Halusinasi suara adalah gejala yang paling sering dialami pasien. Awalnya terdengar biasa, lalu lama-kelamaan menjadi menakutkan, bahkan memerintahkan untuk melakukan hal berbahaya. Data statistik menunjukkan 5%-13% pasien skizofrenia meninggal karena bunuh diri, sebagian akibat menuruti “perintah” dari suara-suara tersebut.
Hidup dengan penyakit yang tidak bisa disembuhkan
Skizofrenia memang tidak dapat disembuhkan total, tetapi bisa dikelola. Kombinasi obat antipsikotik, terapi bicara, CBT untuk psikosis, pelatihan keterampilan sosial, dan konseling bisa membantu pasien menjalani hidup lebih baik.
Hambatan terbesar adalah ketidakpatuhan minum obat. Efek samping ata anosognosia, yaitu ketidakmampuan menyadari dirinya sakit, yang memengaruhi hingga 98% pasien. (CNN/Z-2)