Skema School Kitchen Patut Dipertimbangkan dalam Program MBG

2 hours ago 2
Skema School Kitchen Patut Dipertimbangkan dalam Program MBG Ahli gizi menunjukan paket makanan bebas alergen untuk program makan bergizi gratis (MBG).(Dok. Antara)

PENELITI Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai bahwa usulan penerapan skema School Kitchen atau dapur sekolah mandiri dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) layak untuk dipertimbangkan pemerintah.

Menurutnya, konsep ini dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan implementasi MBG yang selama ini bergantung pada sistem dapur besar, seperti Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan kontraktor penyedia makanan berskala besar.

"Lebih baik Badan Gizi Nasional (BGN) duduk bareng dulu dengan semua pemangku kebijakan, termasuk juga perwakilan dari sekolah dan ahli gizi. Sekarang masalahnya itu di mana? Yang pasti salah satu persoalannya adalah ketika dapur itu tidak lagi dikelola oleh masyarakat, tapi dikelola oleh dapur-dapur besar," kata Media Wahyudi saat dihubungi, Jumat (24/10).

Ia menjelaskan, aspirasi masyarakat sebenarnya sederhana, yakni agar dapur MBG dapat dikelola secara mandiri oleh sekolah, dengan melibatkan orang tua, komite sekolah, serta UMKM lokal. Dengan cara itu, selain meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab, pengelolaan juga dapat menjadi lebih efisien dan transparan.

"Keinginan masyarakat itu kan sederhana, supaya dapur itu dikelola oleh sekolah secara mandiri oleh sekolah, terus kemudian bisa melibatkan orang tua, komite sekolah, termasuk juga UMKM-UMKM setempat," ujarnya.

Kendati demikian, ia juga menyoroti bahwa tantangan muncul pada aspek pendanaan dan mekanisme pelaksanaan. Selama ini, model dapur besar menggunakan skema biaya besar, bahkan mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per unit.

Jika konsep itu digeser ke sekolah, maka pemerintah harus menyiapkan mekanisme baru yang benar-benar berpihak pada kemandirian sekolah, bukan hanya sekadar memindahkan lokasi dapur dari penyedia besar ke area sekolah.

"Sekarang kalau seandainya itu digeser ke sekolah, mekanismenya gimana? Jangan sampai malah nanti cuma digeser saja, jadi dari dapur-dapur besar tadi kemudian lokasinya dipindah ke sekolah. Yang dimaksud dengan dapur mandiri itu adalah dapur yang semuanya itu diputuskan oleh sekolah polanya," jelasnya.

Menurutnya, pendampingan dari ahli gizi juga tetap diperlukan agar kualitas gizi dan keamanan pangan tetap terjamin. Namun, ia menyarankan agar pendanaan MBG disalurkan langsung ke sekolah, sehingga mereka dapat menentukan model pengadaan, memilih pemasok lokal, serta menyesuaikan menu dengan karakteristik daerah.

"Cukup pendampingan saja dari ahli gizi, termasuk juga dananya dikirimkan ke sekolah, biar sekolah yang mengatur, Itu bisa jadi salah satu opsi," ucapnya.

Ia menambahkan, selama struktur MBG masih dikendalikan oleh entitas besar yang berafiliasi dengan pemerintah, maka perubahan menuju model School Kitchen akan sulit terwujud.

Oleh karenanya, ia menegaskan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam setiap tahapan kebijakan MBG, mulai dari penunjukan dapur, pengelolaan anggaran, hingga pelibatan masyarakat.

"Sekarang pertanyaannya mau tidak pemerintah menggeser pola yang sentralistik lewat dapur-dapur besar itu ke pengelolaan dapur yang ada di bawah sekolah? Karena semua arrangement-nya kan pasti akan berbeda. Dan kelihatannya ini tidak sesederhana itu, karena dari awal memang disettingnya sentralistik dengan pengelola-pengelola yang kita tahu adalah entitas-entitas yang punya afiliasi dengan pemerintah maupun organisasi-organisasi di sekitar pemerintah," tuturnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |