Skema Burden Sharing BI dan Kemenkeu Berisiko Membuat Property Bubble

3 hours ago 6
Skema Burden Sharing BI dan Kemenkeu Berisiko Membuat Property Bubble Warga mencari informasi mengenai Surat Berharga Negara (SBN) jenis Obligasi Negara Ritel seri ORI027 melalui perangkat digital, beberapa waktu lalu.(Antara/ Indrianto Eko Suwarso)

EKONOM Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai skema pembagian beban bunga (burden sharing) antara Bank Indonesia (BI) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berpotensi menimbulkan risiko kredit bermasalah, khususnya di sektor perumahan dan koperasi. Skema burden sharing dibuat untuk membiayai program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Dalam skema burden sharing, biaya bunga atas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) akan ditanggung bersama antara BI dengan Kemenkeu, untuk mendukung pembangunan 3 juta rumah serta program Koperasi Desa Merah Putih. Namun, Wijayanto mengingatkan, ketika pengembang atau developer sekaligus konsumen sama-sama diberi insentif, risiko gelembung properti (property bubble) akan meningkat.

"Ini akan sangat berbahaya jika terjadi property bubble. Potensi kredit macet bisa datang dari pihak pengembang maupun konsumen,” ujarnya dalam seminar dengan tema 'Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi?' secara daring, Rabu (10/9).

Wijayanto menyinggung kasus krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, ketika kredit perumahan berisiko tinggi gagal dibayar akibat daya beli konsumen menurun. Sedikit saja ada guncangan ekonomi, kemampuan bayar kelompok menengah bawah dikatakan bisa anjlok.

"Oleh karena itu, idealnya, insentif hanya diberikan ke salah satu pihak, developer atau konsumen, bukan keduanya sekaligus,” tambahnya.

Potensi Kredit Macet di Koperasi Merah Putih

Risiko serupa juga mengintai program Koperasi Merah Putih. Pemerintah berencana membentuk 80 ribu koperasi desa. Wijayanto memperkirakan dengan kebutuhan modal sebesar Rp1–3 miliar per koperasi, maka total dana yang dibutuhkan sekitar Rp240 triliun. Skema ini dikhawatirkan menyimpan potensi kredit macet yang amat besar.

Ia menyebut mayoritas pendaftar koperasi bukanlah entrepreneur atau inovator, melainkan masyarakat dengan pekerjaan tetap. Akibatnya, dana yang digelontorkan akan habis untuk biaya operasional tanpa menghasilkan usaha produktif. Kondisi ini berpotensi membuat koperasi bangkrut dan bahkan menyedot dana desa.

“Bayangkan, kalau 50% koperasi gagal, berarti ada 40 ribu desa akan teriak-teriak. Ini yang perlu diantisipasi pemerintah," tegasnya.

Langkah Menghindari Kredit Macet

Meski penuh risiko, Wijayanto mengatakan skema burden sharing untuk program Asta Cita bisa dijalankan dengan cara bertahap. “Program 3 juta rumah harus dijalankan secara gradual, dimulai dari skala kecil sebelum diperluas. Begitu juga dengan Koperasi Merah Putih. Prinsipnya, hati-hati dan terukur,” tutupnya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menjelaskan, Secara teori modern monetary economics, kebijakan moneter memang dapat diarahkan untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi, tanpa harus mengorbankan independensi bank sentral.

Namun, dukungan Bank Indonesia melalui burden sharing berarti ada tambahan suplai uang (money supply) ke dalam perekonomian. Konsekuensinya, risiko inflasi bisa meningkat. Selain itu, risiko lainnya ialah ketika program prioritas tersebut tidak efektif berjalan.

Kata Eisha, jika dana yang disalurkan benar-benar mampu meningkatkan produktivitas, baik pada Koperasi Merah Putih maupun perumahan rakyat, maka kebijakan ini akan tepat sasaran dan mendorong pertumbuhan. Tetapi, jika pelaksanaannya tidak efektif, berbagai masalah bisa muncul. "Yakni, muncul kredit macet (NPL), proyek perumahan mangkrak, hingga lemahnya tata kelola," jelasnya.

Dalam skenario buruk tersebut, kebijakan moneter justru bisa menjadi kontraproduktif. Pasar dapat kehilangan kepercayaan, aliran modal asing keluar (capital outflow), cadangan devisa tergerus, nilai tukar rupiah melemah, dan pada akhirnya stabilitas ekonomi terganggu.

Karena itu, kata Eisha, kunci keberhasilan burden sharing terletak pada pengelolaan dan implementasi. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, potensi manfaat bisa berubah menjadi risiko yang membahayakan perekonomian. (M-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |