
FEDERASI Sepak Bola Indonesia (PSSI) resmi memutus kerja sama dengan Patrick Kluivert dan jajaran pelatih asal Belanda setelah kegagalan tim nasional melangkah ke Piala Dunia 2026. Kluivert bersama asisten Alex Pastoor, Denny Landzaat, dan pelatih muda Gerald Vanenburg dilepas usai gagal memenuhi ekspektasi publik.
Keputusan ini menandai berakhirnya pendekatan bergaya Eropa yang sempat diharapkan mampu mengangkat prestasi sepak bola nasional. Namun, momentum tersebut justru membuka ruang refleksi lebih dalam: bagaimana Indonesia membangun sepak bola yang kuat, mandiri, dan berkelanjutan dengan mengandalkan potensi dalam negeri.
Pembinaan Belum Terstruktur
Meski menjadi olahraga paling populer di Tanah Air, pembinaan usia muda di Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Pelatih dan pencari bakat asal Belanda, Edwin Klok, yang telah lama berkecimpung di sepak bola nasional, menilai akar permasalahan terletak pada sistem pembinaan yang belum terbangun secara menyeluruh.
“Banyak akademi di sini masih berjuang secara finansial. Bahkan ada klub profesional yang meminta orang tua membayar agar anaknya bisa masuk akademi. Itu cara mereka menutup biaya operasional,” ujar Klok dikutip dari NOS.
Fenomena tersebut menunjukkan lemahnya fondasi pembinaan yang seharusnya menjadi dasar pengembangan talenta muda. Kasus serupa sempat mencuat di Madura United ketika keluarga seorang pemain muda tak sanggup membayar biaya pendaftaran. Kondisi itu memicu kritik terhadap sistem pembinaan yang dinilai belum berpihak pada pemain dari kalangan kurang mampu.
Tantangan Negara Besar
Klok menegaskan, membangun sistem pembinaan sepak bola di Indonesia merupakan pekerjaan jangka panjang yang menuntut arah kebijakan yang konsisten. Dengan wilayah yang luas dan kesenjangan infrastruktur antardaerah, sulit menciptakan kompetisi berjenjang yang rapi seperti di Eropa.
“Indonesia tidak memiliki piramida sepak bola yang jelas. Banyak pemain baru mengenal sepak bola secara serius ketika sudah remaja, sehingga tertinggal dalam aspek taktik dan pemahaman permainan,” jelas Klok.
Meski demikian, Klok tetap optimistis terhadap masa depan sepak bola Indonesia. Ia menilai potensi pemain muda di Tanah Air sangat besar jika sistem pembinaan dapat dijalankan dengan visi yang jelas dan berkesinambungan. “Dengan jumlah anak muda sebanyak ini, Indonesia sebenarnya punya emas di tangannya,” katanya.
Butuh Investasi Jangka Panjang
Pengamat sepak bola Kesit Budi Handoyo menilai pembinaan usia muda menjadi kunci utama bagi masa depan sepak bola Indonesia, meski hasilnya tidak dapat dirasakan dalam waktu dekat.
“Kalau penguatannya dilakukan dari pembinaan usia dini, saya rasa belum bisa untuk Piala Dunia mendatang. Pembinaan usia dini itu investasi jangka panjang,” ujar Kesit.
Ia menekankan bahwa pembinaan usia muda saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu kelemahannya, Indonesia belum memiliki kompetisi kelompok umur yang berjenjang untuk menyiapkan pemain sesuai kebutuhan tim nasional.
“Kalau kita mau melakukan pembinaan usia dini sejak sekarang, kita baru bisa memetik hasilnya 10 sampai 15 tahun mendatang,” ucapnya.
Kesit menjelaskan, usia emas pemain sepak bola berada pada kisaran 25 hingga 27 tahun. Dengan demikian, pembinaan harus dimulai sejak anak-anak berusia 10 tahun agar proses pengembangan berjalan maksimal. “Kalau kontinu dan pembinaannya bagus, kita baru bisa melihat hasilnya 15 tahun ke depan,” kata dia.
Meski demikian, Kesit menilai komitmen yang sudah ada perlu terus dijaga agar tim nasional tetap berpeluang tampil di Piala Dunia 2030. “Yang paling penting sekarang komitmen yang ada harus terus digembleng. Kita berharap mereka bisa meloloskan Indonesia ke Piala Dunia 2030,” katanya.
Menurut dia, pembinaan usia dini merupakan investasi yang mahal, tetapi tidak bisa dihindari. “Ini investasi jangka panjang dan biayanya sangat besar. Tapi harus dilakukan, karena negara-negara besar seperti Jerman, Argentina, Belanda, dan Spanyol sudah memetik hasil dari pembinaan yang dilakukan puluhan tahun,” ujarnya.
Momentum Pembenahan
Kepergian Kluivert dan stafnya menjadi momentum bagi PSSI untuk melakukan pembenahan mendasar. Tantangan terbesar bukan sekadar mencari pengganti di kursi pelatih, melainkan memastikan sistem pembinaan berjalan dengan arah yang terukur dan terlepas dari intervensi politik.
Kegagalan tim nasional melaju ke Piala Dunia 2026 juga menambah tekanan terhadap Ketua Umum PSSI Erick Thohir. Sejumlah kalangan menilai kebijakan federasi di bawah kepemimpinannya belum menunjukkan langkah reformasi yang konkret.
Keputusan mengganti Shin Tae-yong dengan Patrick Kluivert dianggap tergesa-gesa dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap performa tim nasional. Kritik pun menguat karena Erick masih merangkap jabatan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, yang dinilai membuat sepak bola terlalu dekat dengan kepentingan pemerintah.
Kegagalan di level internasional diharapkan menjadi titik balik bagi PSSI untuk menata ulang arah pembinaan sepak bola nasional. Tanpa sistem yang berpihak pada pengembangan pemain lokal, dukungan infrastruktur yang merata, dan komitmen pembinaan jangka panjang, mimpi Indonesia tampil di panggung dunia akan tetap sulit terwujud. (Ndf/M-3)