Setahun Prabowo-Gibran, Konflik Papua Meluas dan Jauh dari Rekonsiliasi

2 hours ago 1
Setahun Prabowo-Gibran, Konflik Papua Meluas dan Jauh dari Rekonsiliasi Evakuasi korban serangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan .(Dok. Puspen TNI)

PENELITI Senior Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Vidhyandika D Perkasa, menilai penanganan konflik di Papua selama satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka masih berorientasi pada pendekatan keamanan militeristik, bukan rekonsiliasi sosial dan politik.

“Permasalahan di Papua ini ada banyak sekali, tapi setidaknya saya mengkategorikan ke dalam tiga hal, yaitu separatisme, ekonomi dan rasisme, serta isu baru berupa eksploitasi sumber daya alam seperti proyek strategis nasional (PSN) dan daerah otonomi baru (DOB),” ujar Vidhyandika dalam paparan CSIS bertajuk ‘Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran’ di Jakarta, Rabu (22/10).

Ia menilai bahwa pendekatan keamanan dan pembangunan fisik tanpa penyelesaian konflik separatisme hanya akan menjadi sia-sia. “Akan sangat percuma membangun Papua kalau isu konflik separatisme tidak diatasi. Semua upaya pembangunan itu akan berakhir sia-sia,” katanya.

Berdasarkan catatan CSIS, tren kekerasan di Papua masih menunjukkan peningkatan signifikan. Sejak Januari 2024 hingga Mei 2025, tercatat lebih dari 350 kasus kekerasan terjadi di berbagai wilayah Papua, termasuk sembilan insiden besar sepanjang Oktober 2025. “Konflik dan kekerasan di Papua sudah menjadi kejadian sehari-hari. Pemerintah belum berhasil mengatasi situasi ini,” kata Vidhyandika.

Menurutnya, pemerintahan Prabowo melanjutkan pendekatan militeristik yang diwarisi dari era sebelumnya, tetapi kini dengan intensitas dan jangkauan yang lebih luas.

“Kebijakan keamanan Prabowo ini masih berjalur militerisasi. Bedanya, sekarang kita mulai melihat penggunaan serangan udara, drone, dan bom. Kalau intelijen tidak presisi, maka yang jadi korban justru warga sipil.”

Dia menilai situasi ini berbahaya karena setiap kali warga sipil menjadi korban, isu Papua kembali dimanfaatkan dalam permainan politik dan propaganda.

“Begitu warga sipil terkena dampak, politik kembali bermain. Tidak ada verifikasi, tidak ada pertanggungjawaban. Ini membuat Papua semakin rumit dan jauh dari perdamaian,” ujarnya.


OTSUS BELUM EFEKTIF
CSIS mencatat adanya upaya lain dari pemerintah, seperti wacana amnesti dan grasi bagi pelaku separatisme, serta program percepatan otonomi khusus (otsus). Namun, langkah-langkah itu dinilai belum transparan dan belum menunjukkan hasil nyata.

“Prabowo terlalu banyak mengirimkan pasukan militer ke Papua tanpa diimbangi transparansi dan akuntabilitas. Pendekatan politik seperti otsus dan amnesti juga masih kabur, tidak jelas implementasinya,” ujar Vidhyandika.

Ia menilai Prabowo mencoba memadukan pendekatan keras dan lunak, tetapi beban terbesar tetap terletak pada operasi keamanan yang belum berhasil menekan konflik.

“Prabowo menerapkan pendekatan yang keras dan lembut sekaligus, tapi beban utamanya tetap di operasi keamanan. Sampai saat ini konflik belum teratasi, bahkan zona perang antara TNI dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) makin meluas,” tuturnya.

Menurut CSIS, kini terdapat sembilan zona konflik aktif di Papua, bukan hanya di wilayah pegunungan tetapi juga di daerah pesisir. Situasi tersebut menunjukkan eskalasi kekerasan yang makin tidak terkendali.

“Sekarang konflik tidak lagi terbatas di pegunungan, tapi sudah menjalar ke daerah pantai. Situasi makin sulit dikendalikan, dan keterlibatan warga sipil dalam pusaran konflik makin besar,” pungkasnya. (Dev/P-2) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |