Ilustrasi(Dok Kemenkeu)
GURU Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai kebijakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) bukan sekadar langkah teknis efisiensi anggaran, tetapi merupakan sinyal politik fiskal yang menunjukkan menguatnya kembali kontrol pemerintah pusat terhadap arus uang publik.
Menurutnya, di balik alasan efisiensi, pemangkasan TKD justru mengarah pada bentuk baru sentralisme fiskal. Pemerintah daerah kehilangan prediktabilitas dalam perencanaan anggaran karena formula transfer kini bergeser ke pengaturan yang bersifat diskresioner dan berubah-ubah.
"Otonomi fiskal berubah menjadi relasi komando. Itulah inti sentralisme baru: bukan mencabut otonomi secara formal, melainkan mengikat otonomi pada keputusan pusat yang cepat dan sering berubah," jelasnya melalui keterangannya, Kamis (9/10).
Dampak paling nyata, imbuh Syafruddin, terlihat pada ekonomi riil di daerah. TKD selama ini menjadi sumber utama bagi layanan dasar dan proyek-proyek kecil-menengah yang menyerap tenaga kerja lokal. Ketika transfer tertahan atau berkurang, aktivitas ekonomi pun melambat.
Itu akan membuat ekonomi daerah bekerja seperti mesin yang kehabisan pelumas, komponen tetap ada, tapi pergerakan tidak lagi mulus. Ia juga mengkritik penerapan desain berbasis kinerja yang justru memperlambat penyaluran dana.
Alih-alih menjadi insentif jangka panjang, indikator kinerja sering digunakan sebagai alat rem jangka pendek. Akibatnya, kepala daerah lebih memilih menunda proyek-proyek strategis karena khawatir dananya tidak tersalur. Kondisi itu, menurutnya, menurunkan mutu layanan publik.
Sentralisme baru tersebut bukan hanya berdampak ekonomi, tetapi juga politik. Syafruddin menjelaskan, DPRD dan warga sulit menilai kinerja pemerintah daerah karena capaian layanan kini bergantung pada keputusan pusat. "Kekaburan ini berbahaya karena merusak kontrak kepercayaan antara warga dan penyelenggara layanan," ujarnya.
Ia menyatakan, kendali fiskal pusat memang diperlukan untuk menjaga stabilitas nasional, namun perlu diterapkan secara proporsional. Jika terlalu menekan ruang fiskal daerah, transmisi kebijakan justru melemah. "Ketika pusat menekan rem di saat daerah bersiap mengeksekusi belanja, siklus bisnis lokal pecah ritmenya," ungkap Syafruddin.
Karenanya, diamengusulkan desain transfer yang berimbang dan transparan. Syafruddin mendorong penetapan baseline multi-tahun untuk layanan dasar, pemisahan jelas antara komponen formula dan kinerja, serta publikasi jadwal pencairan yang pasti. Ia juga menekankan pentingnya analisis dampak regional sebelum melakukan pemangkasan besar.
"Efisiensi dan stabilitas harus berjalan beriringan. Negara membutuhkan disiplin anggaran, daerah membutuhkan kepastian," tuturnya. (H-2)


















































