
PENULIS dan sejarawan asal Belgia, David Van Reybrouck, menegaskan bahwa Revolusi Indonesia tahun 1945 bukan sekadar peristiwa nasional, melainkan bagian penting dari sejarah dunia. Pandangan tersebut ia sampaikan dalam kuliah umum bertajuk “Sukarno and The Making of The New World” yang digelar di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (22/10), dan dihadiri ratusan peserta.
“Ada kecenderungan untuk percaya bahwa revolusi yang terjadi di belahan bumi utara adalah sejarah dunia, sementara revolusi di selatan hanya dianggap sejarah lokal. Saya tidak setuju dengan pandangan itu,” ujarnya dalam kuliah umum yang diselenggarakan Badan Sejarah Indonesia PDIP dengan Historia.ID, dikutip Kamis (23/10).
Van Reybrouck membandingkan Revolusi Indonesia dengan Revolusi Prancis, Amerika, Rusia, dan Haiti. Menurutnya, perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945 membuka babak baru bagi dunia pascakolonial.
“Pada Agustus 1945, Indonesia adalah negara pertama yang memproklamasikan kemerdekaannya hanya dua hari setelah Perang Dunia II berakhir. Itu menginspirasi gerakan antikolonial di banyak tempat,” katanya.
Ia menambahkan, sejarah kolonial terlalu sering ditulis dari sudut pandang nasional sempit, seolah hanya melibatkan dua aktor yaitu penjajah dan jajahan.
"Padahal revolusi Indonesia punya dimensi transnasional. Ia menggerakkan solidaritas lintas bangsa dan menjadi template bagi banyak negara yang berjuang merdeka,” tutur penulis buku Revolusi itu.
Van Reybrouck berharap cara pandang baru terhadap sejarah kolonial dapat membantu generasi sekarang memahami bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya kemenangan nasional, tetapi juga titik balik global menuju dekolonisasi.
“Revolusi Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia. Ia mengubah peta politik dan kesadaran umat manusia,” ucapnya.
Acara ini turut dihadiri oleh sejumlah tokoh, antara lain: Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Wagub DKI Rano Karno, sejumlah Anggota DPR RI PDIP, Bonnie Triyana, Gunawan Mohamad, Wardiman Djojonegoro, Halidah Hatta, Sukmawati Soekarnoputri, serta perwakilan diplomatik dari Belanda dan Belgia. (P-4)