Diskusi publik bertema Peran Industri Sawit dalam Perekonomian Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045 yang digelar di Gedung Tempo(Dok. Istimewa)
INDUSTRI kelapa sawit kian menunjukkan peran strategisnya dalam menopang perekonomian nasional. Selain menjadi penyumbang utama devisa, komoditas ini juga membuka lapangan kerja bagi jutaan orang dan menjadi tumpuan masa depan menuju Indonesia Emas 2045.
Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menyebut, industri ini menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 16 juta orang, mulai dari petani, pekerja perkebunan, hingga pelaku industri turunannya.
"Indonesia memiliki sekitar 16,38 juta hektare lahan sawit, di mana 53% dikelola swasta, 6% oleh BUMN dan sisanya sekitar 41% petani swadaya," ujar Dida dalam diskusi publik bertema Peran Industri Sawit dalam Perekonomian Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045 yang digelar di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa (4/2).
Dida menilai produktivitas sawit nasional masih bisa ditingkatkan. Saat ini, rata-rata produksi masih di bawah empat ton per hektar, sedangkan perusahaan besar mampu mencapai 10–12 ton.
"Melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), produktivitas diharapkan bisa naik dua hingga tiga kali lipat dalam empat tahun ke depan," kata dia.
Keunggulan sawit, lanjut Dida, terletak pada efisiensi dan hasil yang jauh lebih tinggi dibanding minyak nabati lain seperti bunga matahari atau rapeseed.
"Sawit adalah komoditas dengan produktivitas lahan terbaik di dunia dan menjadi pilihan paling berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global," ujarnya.
Sebagai upaya memperkuat aspek keberlanjutan, pemerintah kini menerapkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025.
"Bagi pekebun kecil, sertifikasi akan diberikan masa transisi empat tahun, dengan biaya yang seluruhnya ditanggung pemerintah," ungkap Dida.
Pemerintah juga tengah mengembangkan sistem informasi ISPO untuk memastikan transparansi dan keterlacakan lahan. Setiap lahan tersertifikasi dapat diverifikasi bersih dari kawasan hutan dan bebas tumpang tindih. Dida menyebut sistem ini akan menjadi game changer dalam tata kelola sawit nasional.
Selain sektor perkebunan, pengembangan biofuel, biogas, dan produk turunan nonpangan dari sawit juga menjadi peluang besar dalam ekonomi hijau. Saat ini, ada sekitar 200 produk turunan sawit yang telah dikomersialisasikan, termasuk kosmetik dan bioavtur. Bahkan, 40% kandungan biodiesel nasional berasal dari sawit.
Dimensi Sosial dan Keberlanjutan
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Surjadi menekankan pentingnya memperhatikan dimensi sosial dalam pengembangan industri sawit. "Petani swadaya memegang peranan penting, namun banyak dari mereka hanya memiliki 2–3 hektare lahan dan menghadapi keterbatasan akses terhadap pupuk serta pendanaan," ujarnya.
Ia mendorong adanya pendampingan bagi petani agar mampu meningkatkan efisiensi dan nilai tambah hasil panen. Surjadi juga menyoroti kesejahteraan buruh sawit yang kerap luput dari perhatian.
"Para buruh juga bagian dari ekosistem sawit yang berhak mendapatkan penghidupan layak dan status kerja formal," tegasnya.
Mengutip riset IPB University yang dipublikasikan di Forest Policy & Economics tahun 2020, Surjadi menilai, dilema antara ekonomi dan lingkungan bisa diminimalkan.
Dorongan Dunia Usaha
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menargetkan produksi sawit Indonesia mencapai 92 juta ton pada 2045, hampir dua kali lipat dari capaian saat ini sekitar 53 juta ton.
Menurutnya, peningkatan produktivitas harus dimulai dari sektor hulu. "Hilirisasi tidak akan berhasil jika hulunya bermasalah. Produksi sawit stagnan dalam lima tahun terakhir. Gapki mendorong peningkatan produktivitas petani dan efisiensi di tingkat kebun," ujarnya.
Ia mencontohkan dampak positif program biodiesel terhadap ekonomi daerah. Menurutnya, banyak petani membiarkan buahnya busuk di pohon. Sekarang, berkat program biodiesel, harga bisa bertahan dan ekonomi daerah ikut hidup.
Gapki, lanjutnya, juga menjalankan berbagai program CSR di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat. "Kami ingin industri sawit tidak hanya kuat secara ekonomi, tapi juga bermanfaat secara sosial dan ramah lingkungan," pungkas Eddy. (Mir/M-3)


















































