
Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia kembali mendapat perhatian publik. Meskipun pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2026, sejumlah pengamat menilai beban pajak yang relatif tinggi masih menjadi faktor yang berpengaruh terhadap meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia.
Di kawasan ASEAN, total beban cukai dan pajak rokok Indonesia tergolong tinggi, mencapai sekitar 67% per batang. Sebagai contoh, untuk satu batang Sigaret Kretek Mesin (SKM), segmen terbesar sekaligus paling rentan terhadap peredaran produk ilegal—terdapat komponen cukai sebesar 52%, pajak rokok 10% dari tarif cukai, serta PPN 9,9% dari harga jual eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata kawasan yang sekitar 55%.
Peneliti dari Universitas Padjadjaran, Satriya Wibawa, menyatakan bahwa tingginya tarif cukai dapat mendorong pergeseran konsumsi ke produk ilegal yang lebih murah. “Harga rokok legal di pasaran semakin tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini membuka peluang bagi produsen dan pengedar rokok ilegal untuk masuk ke pasar,” ujarnya, Senin (20/10).
Satriya menambahkan, kebijakan cukai yang terlalu tinggi memang dapat menekan konsumsi, tetapi juga berpotensi menekan industri dari sisi produksi dan tenaga kerja. “Produksi menurun, penyerapan bahan baku dari petani berkurang, dan industri mengurangi jumlah tenaga kerja. Dampaknya, sektor tembakau melemah sementara rokok ilegal meningkat,” jelasnya.
Ia menilai, evaluasi kebijakan CHT perlu dilakukan secara menyeluruh agar memperhatikan keseimbangan antara tujuan fiskal dan kondisi sosial ekonomi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa keputusan tidak menaikkan cukai hasil tembakau pada 2026 bertujuan menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial. “Pemerintah berkomitmen untuk menjaga keberlangsungan industri legal sekaligus memperkuat pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal,” ujarnya pada awal Oktober 2025.
Purbaya juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas harga. “Jika selisih harga antara produk legal dan ilegal semakin besar, risiko peredaran barang ilegal juga akan meningkat,” katanya.
Kebijakan ini mendapat sambutan positif dari sejumlah pelaku industri, termasuk petani tembakau. Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), K. Mudi, menyebut langkah pemerintah menahan kenaikan cukai sebagai keputusan realistis di tengah kondisi industri yang sedang lesu.
“Menahan kenaikan cukai memberi kesempatan bagi industri untuk memperbaiki kinerja dan daya serap tenaga kerja, serta membantu petani tembakau,” kata Mudi (9/10). Ia berharap pemerintah juga memperkuat pengawasan agar kebijakan tersebut efektif menekan peredaran rokok ilegal.
Menurut data Euromonitor, 58 dari 83 negara mengalami peningkatan peredaran rokok ilegal dengan rata-rata pertumbuhan 13% per tahun. Negara dengan beban pajak tembakau di atas 60% umumnya menghadapi tantangan serupa, termasuk Indonesia. (Ant/Z-10)